Selasa, 19 Agustus 2008

JAGA DIRI

Mohon terminologi menjaga diri tidak disamakan dengan membela diri. Dalam Pedoman Gerak Badan Margaluyu Pusat no. 3 yang berbunyi "Ulah ngahanakeun kana cariosan ku anjeun". Yang diartikan sebagai "Anda jangan membuat / ngarang-ngarang cerita ".
Tentu yang dimaksud dengan ngarang cerita, adalah memberitakan sesuatu yang tidak sesuai dengan fakta yang terjadi. Dalam artian pedoman ML-Pusat no.3, mengingatkan pribadi kita untuk berperilaku jujur.
Kalau kita bicara soal kejujuran, maka kejujuran adalah adalah tools yang membawa pribadi kita menjadi sosok yang diperhitungkan eksistensinya.

Apakah didunia ini ada orang yang jujur? Kalo ada, lalu siapa orangnya ?

Acap kali kalau ditanya soal kejujuran, dalam pikiran kita yang tergambar selalu berkaitan dengan hal-hal yang bersifat materialistis, untung dan rugi.
Karena terinduksi oleh aneka kesulitan kehidupan ekonomi yang dialami negeri ini, yang mengalami krisis berkepanjangan,

Kalau kejujuran di konversi secara material, maka kita tidak akan menemukan orang yag jujur.
Tetapi Kalau kejujuran dirujuk pada perilaku budi pekerti luhur, kesetiaan, keberanian maka akan didapat jutaan orang yang jujur.

Berapa banyak kehidupan rumah tangga yang berantakan, karena pribadi kita kebanyakan ngarang cerita. Yang tidak sesuai dengan fakta. ?
Berapa banyak orang yang tertimpa kerugian, karena kita menyajikan informasi palsu ?
Berapa banyak hubungan persahabatan yang retak, putus, atau hubungan kekeluargaan menjadi tegang yang dipicu oleh ketidak jujuran dalam memberikan informasi ?.
Berapa banyak kerugian yang diderita akibat dari secara bersama-sama melakukan kesepakatan untuk menutup nutupi fakta, dengan mengarang cerita yang tidak benar.?

Pertanyaan-pertanyaan diatas adalah aneka kejadian yang berkaitan dengan lalainya pribadi diri kita dalam menjaga nama baik / kehormatan diri. Dengan kata lain, jika kita gagal menjaga diri untuk menjunjung kehormatan diri kita sendiri, maka sangatlah tidak mungkin untuk untuk menjaga harkat, kehormatan dan martabat orang lain
Disadari atau tidak, disengaja atau tidak, bisa saja diri kita memiliki konntribusi terjadinya aneka kejadian tersebut diatas. Karena kita gagal mensikapi atau tidak tanggap dalam melakukan tindakan tindakan.
Mungkin uraian dibawah ini, dapat digunakan sebagai referensi untuk menilai arti sebuah pekerti. Mohon tidak dimasukan kedalam hati jika uraian contoh dibawah ini memiliki kemiripan peristiwa yang dialami oleh pribadi kita.

The story :
Si A mengaku kepada sahabatnya si B, bahwa dirinya tidak memiliki relationship yang serius dengan si C. Karena Si A sangat menghormati si B sebagai sahabatnya. Dalam kenyataanya si A sebenarnya sedang mengejar si C. Upayanya di lakukan di hari hari kerja, karena ini adalah kesempatan yang baik. Karena di hari kerja rumah si C sepi, karena tuan/nyonya rumahnya ada dikantor. Dalam setiap bertamu kerumah si C, Si A lupa akan kesantuan adab bertamu. Layaknya seorang tamu, yah mestinya duduk diruang tamu, bukan di ruang lain. Katakanlah "ndeprok" di dapur. Pada saat yang sama, sahabat Si B menghubungi lewat telpon Si A, yang lagi mojok. Kepada si B si A memberikan informasi bahwa dia sedang meeting.dikantor ----(end Story)

Dari story diatas bisa kita pahami. Bagaimana bentuk kualitas kepribadian si A.

1. Pertama.... Si A adalah sosok yang tidak memiliki adab kesantuan dalambersosialisasi
2. Kedua....... SI A adalah sosok yang tidak bisa dipercaya ucapanya.
3. Ketiga....... Si A adalah sosok yang tidak dapat menjaga martabat orang lain
4. Keempat... Si A adalah sosok yang tidak bisa menjaga dirinya sendiri.
5. Kelima...... Si A tidak memiliki kualitas pola pikir dan kualitas hidup yang baik. Jauh dari kesalehan.

Disarikan dari "Manner & To be a Good Man" by David Ike.

Webmaster
Ps: Yg disajikan hanyalah intisari pemahaman, dari sebuah buku bacaan.

Salam Adem Ayem dari:
Eyang menggung

Kebahagiaan dan welas asih

Kebahagiaan adalah mata pencarian hampir setiap orangApakah itu menikah, bekerja, berdo’a atau kegiatanm hidup lainya. Semuanya bermuara pada samudra yang bernama Kebahagiaan. Sebegitu dahsyatnya daya tarik kebahagiaan, sehingga banyak orang yang mengejarkan meski dengan ongkos yang mahal.
Kendati sudah menjadi tujuan manusia sejak zaman dulu kala, dan manusia telah menghabiskan dana, tenaga waktu yang sangat besar, masih saja tidak pernah puas. Disisi lain dan di banyak pojokan tidak sedikit kehidupan yang masih bergelimang dengan air mata. Tanpa perduli itu adalah pojokan kumuh tempat kemiskinan maupun pojokan mewah. Kenyataan terakhir diatas mengajarkan kita bahwa tawa dan air mata tidak mengenal sekat-sekat harta.
Lantas apakah ciri khas hadirnya air mata ?.
Kata bijak berbunyi : “orang yang berbahagia bukanlah seseorang yang berada dalam suatu keadaan tertentu, melainkan seseorang dengan perangkat sikap tertentu”

Bilamana kita cermati kata bijak seperti itu, point pentingnya bukanlah keadaan (baca : harta, tahta dan keadaan lainnya) melainkan perangkat sikap kitalah yang lebih menentukan seberapa lama umur kebahagiaan bisa kita miliki. Dengan perangkat sikap yang tepat, mau miskin atau kaya, jabatan tinggi atau rendah, di kota atau di desa, semuanya dibukakan pintu kebahagiaan yang sama lebarnya oleh Allah.

Persoalannya, jarang orang yang mencari kebahagiaan melalui jalur-jalur sikap. Umumnya, orang mengejarnya di sektor keadaan. Maka, jadilah kegiatan terakhir seperti kegiatan mengejar kaki langit yang tidak mengenal akhir. Atau seperti mengejar bayangan sendiri.
Oleh karena tuntutan pekerjaan, serta kebiasaan hidup untuk senantiasa bergaul di atas maupun di bawah, tidak jarang saya bertemu orang yang dibuat sengsara oleh nafsu berlebihan untuk mencapai keadaan tertentu. Didorong oleh mesin kejam yang bernama keinginan, jadilah tubuh dan hidupnya seperti mobil yang bergerak cepat tapi tanpa sopir. Kerap sampai dalam keadaan yang diinginkan memang. Tetapi, ongkos yang dibayarnya amat dan teramat mahal. Tidak jarang terjadi, ongkosnya adalah kehidupan mereka sendiri.

Agak berbeda dengan pencari-pencari harta dan tahta, ada sejumlah orang yang saya kenal yang memusatkan sebagian besar energi dalam perbaikan dan pengembangan sikap. Fokusnya memang bukan keadaan yang ada di luar sana, melainkan sikap yang muncul dari dalam sini. Tidak mudah tentunya, terutama pada awalnya. Dan saya sendiri masih dalam tahap belajar. Namun, begitu wilayah sikap ini sudah terkuasai, kebahagiaan bukanlah barang yang teramat langka dan mahal..
Coba kita simak Bunda Theresa, hidupnya sebagian besar dikelilingi orang-orang berpenyakit di lingkunang miskin. Akan tetapi, toh beliau bisa memiliki umur tua dan panjang. Atau teladani jalan kehidupan Sang Buddha yang meninggalkan harta dan tahta untuk mencapai pencerahan. Sebenarnya masih ada contoh lain yang terlalu panjang untuk diceritakan di sini.
Demikian juga dengan Bunda Theresa, hidupnya sebagian besar dikelilingi orang-orang berpenyakit di lingkunang miskin. Akan tetapi, toh beliau bisa memiliki umur tua dan panjang. Buddha bahkan meninggalkan harta dan tahta untuk mencapai pencerahan. Sebenarnya masih ada contoh lain yang terlalu panjang untuk diceritakan di sini

Yang jelas, sikap merupakan kunci yang amat menentukan dalam perjalanan menuju kebahagiaan. Berkaitan dengan hal ini, ada sebuah pepatah cina yang menarik perhatian. Pepatah tersebut berbunyi amat sederhana. Jika kau menginginkan kebahagiaan untuk sejam tidurlah selama itu. Untuk sehari pergilah memancing. Untuk sebulan menikahlah. Untuk setahun warisi harta. Untuk seumur hidup tolonglah orang lain.

Pepatah sederhana terakhir. Semakin ia didalami, semakin dibawa ke dalam rangkaian pemahaman tentang kebahagiaan yang demikian lengkap dan mengagumkan. Sikap, itulah hulu dari sungai kebahagiaan. Lebih-lebih kalau sikap terakhir dijabarkan ke dalam sikap rajin membantu dan menolong orang lain. Sungai kebahagiaan akan menjadi sungai yang tidak pernah mengenal kering.
Entah bagaimana cara kita menjabarkan kalimat ‘tolonglah orang lain’, Kenyataan praktis dan pahit sering terdengar, Begitu gegernya dan menggeledek suara ajakan terbang ke Afganistan untuk “jibaku” disana, dan sebaliknya begitu kering tenggorokan tak mampu bersuara manakala mendengar dan melihat puluhan ribu saudara-saudara kita terhina terusir dari negeri Jiran.

Begitulah kira-kira jika kita melakukan sesuatu amal bhakti hanya didasari oleh keadaan atas kepentingan yang abu-abu. Natijahnya kita kehilangan harta yang paling berharga yaitu irama sikap welas asih, sehinga warna segumpal daging didalam rongga tubuh coreng moreng tak terbaca. Yang pada akhirnya gagal menyumbangkan setitik kebahagian kepada saudara-saudara kita yang sedang terhina ditapal batas negara.
Atau mungkin zaman telah mengubah warna welas asih dari putih bersih menjadi corak welas asih berukir gambar pedang ?

Wassalam
Eyang menggung

Harapan, cita-cita adalah perintah

Harta terakhir yang kita miliki adalah harapan. Sepapa apapun, selama harapan masih tersimpan di lubuk hati. Cuat sinar kehidupan masih akan menyinari diri kita. Mewujudkan harapan menjadi kenyataan, sama halnya dengan mejalankan suatu proyek. Dimana diri kita bertindak sebagai pimpro (pimpinan proyek). Layaknya sebuah proyek, maka diperlukan organsasi yang efektip, rencana strategis, sasaran dan target waktu penyelesaian

Seluruh batang tubuh kita merupakan satu organisasi yang sophisticate. Suara hati bertindak sebagai pemimpin. Masalahnya apakah suara hati mampu menjalankan gerak organisasi dengan kualitas yang baik.Satu hal yang sangat spesifik, organisasi didalam tubuh kita adalah organisasi yang sangat loyal, patuh kepada sang pemimpin. Tak satupun keputusan pemimpin yang ditolak. Mata tidak akan memejam mana kala suara hati memerintah untuk terus menatap.
Jelasnya hanya kualitas keputusan saja yang membentuk organisasi batang tubuh kita menjadi terlhat lebih baik dibanding dengan yang lainya.

Sering kali kondisi atau lingkungan dijadikan alasan untuk memaafkan ketidak mampuan diri kita untuk mencapai tujuan atau target, sehingga harapan gagal diwujudkan dengan tepat waktu. Atau sama sekali gagal berantakan.

Mewujudkan harapan atau menggapai cita-cita layaknya di ibaratkan kita sedang berenang menyeberang dari satu tempat ke tempat lain. Sedangkan air disekitar kita adalah lingkungan atau kondisi yang dihadapi. Untuk mencapai seberang, mau tidak mau kita harus melewati air dan meinggalkan air setelah mendarat diseberang.
>Kepala kita harus tetap di atas air untuk dapat terus bernapas. Dalam hal ini posisi diri kita harus dapat menguasai kondisi atau lingkungan untuk mewujudkan harapan. Kalau kepala kita terbenam didalam air, Artinya kita tenggelam dalam lingkungan atau kondisi. Yang pada akhirnya kehabisan energi hanyut terseret.

Seluruh organ pada batang tubuh kita adalah subordinat yang sangat loyal dan patuh. Tidak ada organisasi lain yang memiliki kualitas seperti organ tubuh kita. Dan ini adalah modal terkuat yang dimiliki. Saya pribadi tidak percaya kalau lingkungan, kondisi dapat mempengaruhi atau merusak harapan dan cita-cita. Saya lebih percaya bahwa tidak sedikit orang yang kalah berperang melawan lingkungan dan kondisi, sehingga ianya tidak berdaya, kalah dan tunduk pada kemauan lingkungan, menyerah kepada kondisi.

Contoh spesifik.
Macetnya jalan di Jakarta, merupakan lingkungan atau kondisi yang terjadi sehari-hari. Meski jalan macet, kita harus mampu melakukan pengukuran waktu untuk mencapai tujuan. Dan kemudian me-manage waktu dengan konsisten, untuk sampai ketujuan dengat tepat waktu. sehingga kehadiran pribadi dan atau kehadiran kita, tidak memberi beban penantian bagi orang lain yang tentu saja membuat value pribadi kita menjadi tinggi.
Inilah yang kita sebut dengan benih kebahagiaan. Karena kemampuan diri mengubah harapan menjadi kenyataan.

Artinya harapan, cita-cita memerlukan kekayaan inteligent, kekayaan konsistensi, kekayaan niat, untuk biaya mangatasi agar batang tubuh kita tidak diracuni oleh lingkungan dan kondisi.
Mutiara akan tetap mutiara, meski ada ditengah lumpur. Bunga Teratai tetap akan terlihat indah dan segar meski mengambang diatas danau yang keruh

Salam persaudaraan dari:
Eyang menggung

Membayar dengan Umur

Hidup bahagia adalah dambaan setiap umat manusia. Tidak seorangpun yang menampik hadirnya kebahagian.Sekalipun mereka yang tinggal di pucuk gunung, sunyi dari keramaian, tetap saja menginginkan hadirnya benda keramat yang disebut bahagia. Jika kita meneliti kisah-kisah perjalanan anak manusia. Mulai dari kisah carangan di media elektronik sampai pada kisah nyata, kenyataan penuh dengan pesan-pesan untuk mencapai kebahagiaan.

Kalau kita mau mengupas lebih jauh.Ternyata kebahagian bisa bernilai sangat mahal bahkan tak terjangkau. Jika ukuran yang dipakai adalah harta.
Disisi lain kebahagiaan bisa sagat murah jika ukuran yang dipakai adalah piranti rasa yang bersemayam didalam sini. Begitu hebat daya pikat benda keramat yang bernama kebahagiaan, sehingga orang mengejar untuk memiliki dengan cara apapun.

Sebut saja sesaat kita bahagia, manakala berhasil mendapat istri yang cantik. Dalam sekejap kebahagian pupus, manakala kita melihat ada orang lain yang setara atau lebih cantik mengganggu pikiran. Selama pikiran itu menggangu maka selama itu pula kebahagiaan yang telah dimiliki hilang, berubah menjadi kabut kabut keinginan, kabut tipu daya, kabut kebohongan, kabut kekerasan dan banyak lagi kabut kabut lainya. Kita tenggelam dalam kabut kabut itu. Hidup terombang ambing oleh perasaan yang tidak tentu dan akhirnya kita menua ditengah kabut kabut. Tanpa disadari kita membayar kabut kabut itu dengan umur kita. Secara sederhana, kebahagiaan bisa di difinisikan sebagai memenuhi / terpenuhi suatu keinginan dengan tepat waktu.Jelas dan gamblang bahwa kata kuncinya adalah waktu. Siapapun dia yang tidak pandai mengatur waktu, maka ianya pasti dijauhi oleh kebahagiaan serta menjadi orang yang merugi. Ianya harus membayar kerugian itu dengan umurnya. Karena waktu dan umur berjalan maju, tak pernah menoleh kebelakang.

Dari sekian banyak orang yang anda lihat hidup bahagia, bisa dipastikan mereka terdiri dari orang orang yang mampu mengatur waktu, mereka adalah orang orang yang tidak perlu membayar kabut kabut pikiran dengan umurnya. Mereka bukanlah orang orang yang menua ditengah gelapnya kabut-kabut pikiran. Dan kebahagian mereka beli dengan harga yang murah

Eyang menggung

Cinta

Assalamu'alaikum wr wb.

Dari sekian banyak umat, tak satupun diantara mereka yang tidak pernah mendengar kata Cinta. Kata yang mustajab serta mampu mempersatukan keinginan untuk mencapai kebahagiaan. Oleh karena itu cobalah kita bertanya pada diri sendiri. Pernahkan seseorang yang paling dekat dengan anda, sebut saja pacar anda mengucapkan kata cinta didepan anda. Atau sebaliknya, pernahkah anda mengcucapkan kata cinta didepan kekasih anda ?Saya percaya dan yakin tidak banyak orang melakukan ikrar dengan mengucapkan cinta dihadapan anda.

Cinta tidak dapat diartikan suka sama suka, saling membutuhkan, saling mengerti atau saling tertarik. Cinta memerlukan pernyataan yang diucapkan (ikrar) keluar terlahir dari mulut kita.
Perasaan suka sama suka mudah pupus, Perasaan saling membutuhkan mudah lenyap manakala kebutuhan sudah saling terpenuhi. Berapa banyak pasangan, sebut saja suami istri yang bubar karena hilangnya perasaan suka sama suka atau perasaan saling membutuhkan sudah lenyap. Kebanyakan dari mereka karena tidak pernah mengucapkan cinta kepada pasanganya.

Meneruskan perasaan suka sama suka ke pelaminan bukanlah tindakan yang bijak. Karena perasaan suka sama suka memerlukan ruang berupa tempat dan waktu. Padahal yang namanya cinta menembus ruang waktu, bahkan mampu melampaui gerbang kematian. Cinta hanya memerlukan ikrar yang diucapkan Kalau anda alpa belum pernah mengatakan cinta pada kekasih, istri, suami dan anak. Ucapkan cinta sekarang. Dan untuk selanjutnya anda akan merasakan power dari kata cinta yang anda ucapkan.

Dapat kita bayangkan kalau suatu perkawinan hanya di landasi saling mengerti, saling membutuhkan (biologis), karena perasaan cocok, saling tertarik, saling suka sama suka, tanpa membawa ikrar cinta. Maka perkawinan itu tidak lebih, hanya untuk membiayai kebutuhan badaniah. Biaya terbesar atau beban yang paling tinggi dalam kehidupan adalah menanggung biaya untuk memelihara cinta yang pernah diikrarkan. Tidak cukup cinta dibiayai olah perasaan saja. Karena cinta harus dibiayai dengan kecerdasan, pemikiran2, perilaku positip, konsistensi, perasaan kasih, daya dan upaya.

Wassalam
Eyang menggung

Kecerdasan Bukan Satu-satunya

Sering kali kita jumpai banyak orang mengeluh diperlakukan tidak adil karena mendapat target yang tinggi. Sebaliknya orang merasa happy jika diberi target yang rendah. “Reaksi” semacam ini layaknya sudah menjadi budaya. Keluhan atau perasaan happy sebenarnya adalah keputusan pribadi dari seseorang untuk memberikan penilaian terhadap kemampuanya sendiri dalam mensikapi tantangan yang diberikan. Kalau ianya mengeluh karena di beri target lebih tinggi, artinya menilai dirinya berkemampuan rendah, yang di ekspresikan lewat keluhan. Sebenarnya target tinggi merupakan soalan baru yang harus diselesaikan dengan menggunakan kecerdasan terakhir yang dimiliki saat ini. Dari titik inilah akan terjadi pemikiran baru, pengalaman baru yang pada akhirnya memperluas memori kecerdasan

Kecerdasan meningkat berbanding lurus dengan bertambahnya soalan baru yang dihadapi. Dalam artian bahwa kecerdasan bukanlah sesuatu yang instan. Kecerdasan selalu bersifat modern. Penggunaan dalil lama untuk mencari solusi persoalan saat ini, meski memiliki hubungan kesamaan yang erat, tidak efektip tanpa menggunakan kecerdasan yang disertai dengan pemikiran pemikiran baru. Menggunakan kecerdasan saja tanpa diikuti oleh pemikiran baru akan terlihat bodoh, dan tidak percaya diri menghadapi soalan baru.

Di zaman sekarang boleh saja sesuatu yang instan dianggap modern. Sebut saja mulai mie instan sampai ilmu-ilmu new-ages dan tenaga dalam.
Mie instan, tidak perlu berpikir tinggal ceburkan ke air panas beberapa menit langsung siap bisa disantap.
Tenaga dalam, bayar saja ongkosnya, energi bisa di transfer. Sakti, tidak perlu berlatih.
Bisa dibayangkan, menggunakan kecerdasan tanpa diikuti oleh pemikiran, kita sudah akan terlihat bodoh, apalagi kalau kita ingin mendapatkan sesuatu dengan instan tanpa melatih kecerdasan, terus kita akan terlihat seperti apa ?

Tidaklah ingin mengecilkan arti mereka yang berolah dengan cara instan. Hanya sekedar ingin berbagi cerita, dari pengalaman para sejawat yang pernah “berguru” secara instan,

Eyang menggung

Kebenaran

Salah dan Benar adalah dua sisi koin mata uang. Bayangkan kalau kita main tebak-tebakan dengan koin 500an rupiah. Satu sisi bergambar Garuda dan sisi lainya bergambar bunga melati. Kita tebak gambar apa yang akan menghadap kita setelah koin yang dilempar itu jatuh.
Mungkin beberapa kali tebakan kita salah, dan bisa juga tebakan kita benar.
Intinya, kita tidak pernah tahu apakah tebakan kita salah atau benar, jika kita tak pernah melempar koin itu. Melempar koin adalah personifikasi dari aktivitas yang kita lakukan. Kita tidak pernah mendapat jawaban jika tidak melakukanya.

Semua orang takut salah dan itu wajar. Tanpa pernah merasa salah, seseorang tidak akan pernah mendapat kebenaran. Jadi Kesalahan adalah utusan Tuhan yang paling rajin memberi hadiah berupa keberanian. Keberanian untuk melakukan sesuatu. Sehingga mau melakukan sesuatu untuk mendapat kebenaran.

Bila seseorang merasa dirinya selalu benar, maka tanpa disadari ianya sudah terjebak dalam kubangan kesalahan. Hakikatnya kebenaran itu bukan milik kita. Kebenaran adalah milik orang lain yang dititipkan pada diri kita, karena mereka percaya bahwa diri kita mampu membawa amanah kebenaran yang dititipkan. Oleh karena itu jangan lagi ragu melakukan sesuatu karena takut salah. Sejauh yang dilakukan tidak melanggar hukum Allah atau melanggar hak-hak orang lain

Eyang menggung

Ka'bah Universal Time (2)

Seperti yang dijelaskan oleh penulis buku ini (Bambang E. Budhiyono). Bahwa KUT tidak membagi tanggal international menjadi menjadi dua bagian (timur dan Barat). Tetapi dengan menggeser Garis waktu penggantian tanggal 180* meridian ke 40* BT. dan ditetapkan sebagai 0* meridian Ka'bah UT. Dan penggantian tanggal tidak lagi pada jam 00:00 tetapi pada jam 18:00, sebagimana layaknya orang Jawa yang menyatakan bahwa (misal) hari Kamis Sore jam 18:00 adalah malam Jum'at / awal Jum'at). Atau biasa kita menyebut sabtu petang sebagai Malam Minggu. Yang lebih menitik beratkan pada faham tata waktu Jawa.

Struktur meridian tidak lagi dibelah menjadi dua arah tetapi menjadi satu arah mengikuti garis edar matahari dari kiri ke kanan, dimana posisi Greenwich (GMT) terletak pada -40* KUT dan posisi Indonesia / Jakarta menjadi -294* KUT di belakang merdian Ka'bah (Mekkah) atau 19 Jam dibelakang Ka'bah (selisih satu hari dibelakang garis waktu Ka'bah).
pada saat di Mekkah melaksanakan Shalat Maghrib 18:30 GMT tanggal 1 Agustus, maka di Jakarta masih jam 22:30 malam GMT tanggal 31 Juli menjelang Subuh. Dengan demikian tidak lagi mendahului melakukan shalat maghrib untuk tanggal 1 Agustus.

Disadari bahwa memang sulit dipahami secara selintas tanpa membiasakan diri dengan dengan konversi waktu GMT ke KUT yang banyak dipakai oleh para orang tua Jawa dalam menunaikan ibadah Madhah. Adaptasi terhadap perubahan garis waktu dari jam 00:00 maju selama 6 jam ke jam 18:00 bukanlah persoalan yang gampang. Karena ini bukan lagi bersifat sekedar transformasi linear pergeseran meridian yang mengubah tatanan dunia yang telah mapan dan dipakai ratusan tahun. Tetapi lebih bersifat mengembalikan kepada fitrah alam dimana pergerakan alamiah adalah dari kanan ke kiri.
Kanan dikatakan sumbu positip dan kiri sumbu negatip. Yang oleh ilmu pengetahuan sampai sekarang diakui sebagai kebenaran haqiqi.

Lihatlah Thawaf berputar dari kanan kekiri, Bumi berputar dari kanan ke kiri (proyeksi tehadap matahari), Balap mobil, atletik maupun balap sepeda di velodrome semuanya berputar dari arah kanan kekiri. Ini semua bukan hanya kebetulan tetapi telah dipertimbangkan oleh para akhli (pemikir-pemikir) bahwa menentang fitrah alam adalah bentuk "pemberontakan" terhadap sesuatu yang Haq yg menentang energi metafisis.

Penulis buku mengingatkan kita agar kita dapat segera menyadari bahwa dalam beribadah bukan hanya sekedar ikut-ikutan atas aturan yang sudah ada, tetapi lebih menitik beratkan pada kebenaran yang Haq yaitu tidak mendahului seperti yang telah diriwayatkan oleh para ahli hadist / sunnah Rasul.
Buku setebal 103 Halaman menerangkan dengan sangat gamblang *rahasia kalender* dan titik lemah almanak Grogorian terhadap keabsahan ibadah umat muslim

Wassalam
Eyang menggung

Ka'bah Universal Time ( 1)

Sebuah buku menarik karya Bambang E. Budhiyono berjudul KUT (Ka'bah Universal Time), atau di terjemahkan dengan judul yang lebih "gagah" REINVENTING THE MISSING ISLAMIC TIME SYSTEM.
Dalam buku ini menjelaskan Time System yang belaku sekarang menggunakan Kalender Gregorian yang pupoler disebut kalender Masehi dengan pola peredaran bumi mengelilingi matahari.
Sebenarnya Islam telah memiliki time system sendiri yang merupakan gabungan pola Qamariyah dan syamsiah yang lebih dikenal dengan sistim kalender Hijriah.

{ Kami (Orang Jawa) sebenarnya sudah memiliki sistem kalender Jawa yang memiliki pola yang sama dengan sistim kalender Islam. Dan Sultan Agung Hanyakrakesuma menggabungkan sistem kalender Islam dengan sistim kalender Jawa }
Sungguh amat disayangkan bahwa *kekayaan* ini banyak dilupakan orang (Jawa - Islam). Sehingga tidak banyak lagi *warga negara* mengetahui tentang system waktu Jawa-Islam.

Dalam kalender Gregorian (Masehi), membagi waktu dunia menjadi dua bagian dengan menetapkan garis tanggal international 0* pada Greenwich dan 180* pada selat Bosporus (antara Rusia Canada). Penggantian Tanggal harian ditetapkan pada jam 00:00 pada Meridian 180*.
Penetapan garis tanggal International diprakarsai oleh Stanford Fleming (Canada) dan Charles F Down (Amerika) pada tahun 1883 dan disyahkan sebagai sistim tata waktu international dalam suatu konvensi pada tahun 1885. Maka sejak saat itu dunia *terbelah dua* dengan latitude 0* ~ +180* sebagai Bujur Timur dan 0* ~ -180* sebagai Bujur Barat. Maka sejak itu kita mengenal negara-negara Barat dan Negara-negara Timur.

Dalam proyeksi perjalanan matahari dari Timur ke Barat, maka negara negara yang berada pada merian 0* ~ +180* akan mendahului 1 hari dibandingkan dengan negara-negara Barat yang ada pada meridian 0* ~ -180*. Lalu apa akibatnya ?
Ka'bah yang terletak pada meridian +40* BT dan Indonesia yang terbentang dari meridian +94* ~ +141* BT (bujur Timur) memiliki selisih waktu 4 ~ 6 Jam (15* meridan per jam). Dimana Indonesia (jakarta) mendahului 4 jam lebih awal dibandingkankan waktu di Ka'bah (Mekkah). Sehingga (misalnya) kita melakukan Shalat Ied pada pagi hari jam 7:00 maka Umat muslim di Mekkah masih melakukan Takbir atau masih ada yang terlelap tidur (jam 3:00 dinihari.) Jika mengacu pada QS Al Imran ayat 96
"Inna Awwala baitin wudi'a linnasi lallazina bibakkata mubarakhan wahudan lil 'alamnin".
{sesungguhnya rumah mula-mula dibangun untuk (tempat ibadat) manusia, ialah Baitullah yang ada di Bakkah (Mekah) yang diberkahi dan menjadi petunjuk bagi semua umat manusia).
Dan bilamana surat diatas kita gandeng dengan Surat Al Hujurat ayat 1 (QS 49:1) "Ya ayyuhal ladzina aamanu tuqqadimu baina yadayillahi wa rasuullihi wattaqullaha innallaha sami'un 'aliim.
(Hai orang orang yang beriman, janganlah kamu mendahului Allah dan rasul-Nya. Dan bertaqwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mendengar dan mengetahui).
maka secara jelas bahwa umat muslim yang berada disebelah timur Mekkah (meridian > 40* BT ~ 180* BT) MENDAHULUI melakukan ibadah Maddah dan bertentangan dengan sunnah Rasul.

Diriwayatkan oleh Ibnu Mundzir , Ibnu Abu Dunya meriwayatkan pada kitab Al Adhahi, dimana Rasullulah membatalkan ibadah penyembelihan hewan Qurban karena mereka melakukan penyembelihan hewan Qurban sebelum Rasulullah melakukanya. Dan memerintahkan mereka mengulangi penyembelihan Hewan Qurban setelah beliau melakukan penyembelihan. Hal yang sama diriwayatkan oleh Imam Tabhrani dalam kitab Al Ausath.
Jelasnya kita bisa terkecoh, manakala Kalender Gregorian (Masehi) sebagai petunjuk tanda waku ibadah Maddah karena kita akan selalu mendahului menjalankan shalat sebelum Shalat yang sama dilakukan di Baitullah Mekah pada hari yang sama

Bersambung pada bagian ke 2

Wassalam
Eyang menggung

Cara Berfikir

Assalamu'alaikum wr wb.

Kita begitu terbiasa untuk berpikir secara dualistis . Sehingga kita cenderung untuk segera memilih salah satu pihak dari suatu masalah. Kita berpikir bahwa ini dan itu adalah satu-satunya cara untuk memperhatikan suatu situasi dan mematok diri dalam belenggu keberpihakan. Acapkali sama sekali tidak mengindahkan bahwa ada sesuatu hikmah yang bisa ditarik dari banyak sisi.

Yang ada adalah skwensial cara berpikir kita mengacu pada benar dan salah. Jika ada sesuatu yang benar, dilain pihak pasti ada yang salah. Jika disatu sisi ada yang menang maka disisi lain tentu ada yang kalah. Cara berpikir ini yang kita sebut dengan cara berpikir dualistis. Saking kuatnya kita terpaku pada persoalan benar dan salah. Maka semakin kerap diri ini menjadi berperilaku dualistis.

Cara berpikir dualistis memang selalu gampang. Tinggal merujuk pada suatu kesepakatan umum yang dibentuk dalam suatu hukum atau katakan syari’at, >atau juga peraturan, undang-undang.

Siapa saja yang tidak sejalan, maka ianya akan dikatakan salah. Dan yang sejalan sudah dipastikan benar.

Masalahnya, apakah suatu hukum, peraturan, undang-undang,apapun bentuknya telah menyentuh keadilan, kebaikan secara universal,yang bisa diterima oleh semua pihak, mulai dari level elite sampai akar rumput.

Sebenarnya ada cara lain untuk untuk berpikir atau memandang suatu masalah / konflik. Yaitu jika kita memandangnya secara Dialektis bukan secara Dualistis.

Cara berpikir dualistis bersifat mempertentangkan. Tidak ada kompromi atau harmoni. Sedangkan cara berpikir dialektis adalah suatu sintesis dari kedua sisi sehingga suatu pandangan baru atau pilihan baru dapat dibentuk. Tanpa harus melibatkan aktivitas diri masuk atau keluar dari situasi keberpihakan.

Contoh cara berpikir dialektis yang bisa kita ambil contoh adalah “Lakum diinukum walliya diin” dalam surah Al Kaafiruun.

Dengan memilih berpikir secara dialektis, kita dapat melihat cara cara baru untuk memecahkan masalah. Ketika tidak seorangpun menjadi salah atau kalah , maka kita semua menjadi pemenang dalam menuntaskan masalah.

Wasallam

Eyang menggung

I N S T I N G

Disadari atau tidak, harta bawaan yang diberikan Allah SWT semenjak diri kita bernafas untuk pertama kali adalah Insting alias naluri. Berbekal harta bawaan inilah kita berjalan mengarungi Indah dan kejamnya samudra luas yang dinamakan kehidupan. Sebagai pemberian Allah SWT, Insting selalu bersifat suci dalam artian tidak mau dikotori.

Kalau kita mau menengok kedalam sini, dan berusaha usaha mengenali insting, maka kita faham bahwa insting utama dari manusia adalah beladiri. Kalau kita bicara beladiri maka assumsi yang menjalar di pikiran kita adalah suatu bentuk kasar berupa gerakan2 beladiri seperti Silat, karate atau aneka jenis bentuk beladiri yang bersifat maskulin.
Tidaklah terlalu selalu salah, jika gambaran semacam itu menguasai pikiran, karena memang kita mungkin hanya menerima informasi yang sangat minimal, bahwa insting manusia adalah beladiri.

Pada hakekatnya insting akan muncul karena perasaan takut. Tidak ada satu manusiapun dimuka bumi yang tidak punya rasa takut. Meski sesorang akan sangat marah jika dibilang takut atau dibilang pengecut. Insting yang duduk pada RASA, selalu memberitakan perasaan takut. Hal inisudah menjadi gelar yang nyata, bahwa manusia sebenarnya sangat takut dengan rasa sakit dan lapar. Tidak satupun manusia yang ingin kelaparan, tidak satu manusia yang ingin sakit atau disakiti.
Entah berapa banyak cost yang dikeluarkan hanya untuk menghindari dua speisis yang bernama sakit dan lapar.

Dari usia dini, orang tua kita memberikan pendidikan yang tujuanya agar kelak diri kita dapat membela diri dari serangan kelaparan atau sakit. Entah sudah berapa banyak biaya yang dikeluarkan untuk maksud tersebut.
Contoh nyata yang bisa kita petik, mengapa kita perlu konsul ke dokter kalau dirasakan terjadi gangguan kesehatan. Tentu karena kita membela diri kita agar rasa sakit, atau rasa tidak nyaman tidak hadir berkepanjangan bertengger di badan kita.
Mengapa kita harus sekolah sampai setuntas mungkin. Hasil dari sekolah kelak digunakan untuk bekerja agar kita sanggup minimalnya memelihara diri untuk beladiri agar kita tidak kelaparan. Jelas apapun aktivitas kita selama ini, intinya adalah beladiri yang dipicu oleh harta bawaan yang kita bawa sejak lahir, yaitu Insting yang lebih focus pada beladiri.
Kalau saja kita paham bahwa insting manusia adalah beladiri, maka uraian diatas Insya Allah mampu menghapus gambaran keras dan kasar bahwa pengertian beladiri akan menjadi sangat lembut. Apalagi pada saat sekarang masih menjadi assumsi ilmu2 beladiri seperti silat masih mendapat cap ilmu kampungan dan atau ada banyak jenis ilmu beladiri diangpap sekarang ilmu yang penuh kekerasan.

Dalam hal bergeraknya insting sesuai dengan usia kedewasaan, maka gerak insting akan terbelah dua, yang membuat kita menjadi Intovert (tertutup) dan atau extrovert (terbuka). Kedua kejadian bukanlah pilihan. Satu diantara dua kejadian ini dipastikan dominan ada didalam diri kita, yang ditentukan oleh evolusi kesadaran dan kadar emisonal setiap orang dalam membela diri.
Kalau ditanya anda pilih yang mana ? Maka anda tidak bisa menjawab dengan pasti karena kedua kejadian intovert atau extrovert bukanlah suatu pilihan.

Yang perlu kita pahami adalah seberapa jauh kita menyadari kadar intovert dan kadar extrovert menguasai diri kita. Sebagai gambaran kalau kadar intovert diri kita lebih dominanmaka kita akan menjadi manusia yang penuh misteri.

Didalam diri ini sebenarnya ada 4 ruang yakni:

Ruang Pertama adalah Ruang AKU TAHU, ORANG LAIN TAHU.

Ruang kedua adalah ruang AKU TAHU, ORANG LAIN TIDAK TAHU.

Ruang ketiga adalah ruang AKU TIDAK TAHU. ORANG LAIN TAHU.

Ruang ketiga adalah ruang AKU TIDAK TAHU. ORANG LAIN TIDAK TAHU.

>Kita ambil contoh sederhana saja seperti uraian dibawah ini, guna mendapat gambaran yang lebih jelas.
Misal kalau kita menyimpan rahasia, dimana biasanya rahasia terdiri dari speises negatip berupa kebobrokan moral. Maka Kebobrokan moral akan menempati ruang kedua AKU TAHU ORANG LAIN TIDAK TAHU. Bentuk kebobrokan moral seperti apa sih yang disimpan di ruang kedua itu ? Yah tidak jauh dari kelamnya masa lalu, perselingkuhan, pacaran dengan suami orang lain, pacaran dengan istri orang lain, pernah membunuh orang lain, janji palsu dan banyak lagi yang tidak bisa disebut satu persatu.

Sejalan dengan waktu, ruang kedua AKU TAHU ORANG LAIN TIDAK TAHU akan menjadi penuh. Tak bisa lagi menampung. Maka akan meluber kedalam ruang pertama AKU TAHU ORANG LAIN TAHU. Kalau rahasia sudah meluber mengisi ruang pertama AKU TAHU ORANG LAIN TAHU, maka dengan waktu yang singkat semua rahasia keboborokan moral yang disimpan rapi akan terbongkar. Terbongkarnya rahasia bukanlah disebabkan oleh faktor extern. Tetapi merupakan dorongan energi Insting yang didalam diri kita sendiri, menggetarkan orang lain, untuk bebas dari berbagai bentuk kekotoran perilaku pribadi kita. Maka diluar kewajaran jika rahasia diri terbuka kemudian menuding orang lain bersalah. Kita harus memahami Insting memiliki energi kuat yang bisa menggetarkan orang lain, dan Insting yang ada didalam diri kita, berusaha menembus sumbatan sumbatan moral yang ditutup oleh nafsu.

Kajian contoh diatas, adalah merupakan peristiwa biasa yang masuk logika setiap orang. Kalau kita mau mengkaji lebih dalam lagi dengan kajian “human engineering”. Kesemua ini berangkat dari Insting manusia sebagai Harta bawaan hadiah Allah SWT.
Insting hadiah Allah SWT adalah suci. Insting tidak mau dikotori oleh perilaku raga yang kotor menyimpang dari Hukum Allah. Oleh karena itu berterima kasihlah kepada Insting yang selalu setia membela diri kita tanpa pamrih, tanpa menginginkan imbalan. Insting Hanya memerlukan perjalanan hidup yang baik dari raga kita. Agar diri kita dapat menciptakan sejarah hidup yang baik

oleh:Eyang menggung

Mencari kebahagiaan

Pada hakekatnya semua manusia telah dianugrahi "jatah" rezeki masing-masing oleh Allah SWT. Kesemua ini tergantung dari upaya maupun usaha setiap individu manusia untuk menggapainya. Oleh karena itu kunci untuk mencapai kebahagian adalah usaha.

Kita ketahui pasti bahwa siklus waktu adalah 24 jam dalam sehari semalam. Pada umunya sesorang melakukan kegiatan (bekerja) pada siang hari. Bertemu dengan keluarga pada sore menjelang malam hari. Dan pada malam hari digunakan untuk istirahat.
Masalahnya, jika kita ditanya : "Apakah bekerja itu enak / menyenangkan ?" Sebagian besar umat manusia menjawab : " Bekerja itu tidak enak atau tidak menyenangkan".

Mari kita analogikan. Bahwa usia produktip manusia dimulai dari umur 20 tahun sampai 60 tahun. Dengan kata lain selama 40 tahun manusia harus berusaha / bekerja. Jika kita kaitkan dengan pernyataan diatas, bahwa bekerja adalah sesuatu yang tidak menyenangkan. Berarti selama 40 tahun diri kita selalu diliputi oleh perasaan yang tidak menyenangkan. Dalam artian lebih dari separuh umur kita, setiap hari diri kita merasakan perasaan yang tidak enak atau perasaan yang tidak menyenangkan. maka kita gagal menjadi manusia yang berbahagia.

Disisi lain fatwa agama menyatakan bahwa BEKERJA adalah IBADAH, Kalau individu manusia menyatakan bahwa bekerja itu tidak menyenangkan atau bekerja itu tidak enak, maka terjadilah persamaan matematis sebagai berikut :

Bekerja = Ibadah.
Bekerja = Tidak enak / tidak menyenangkan,
Bekerja = Ibadah = Tidak enak / Tidak menyenangkan

Maka lengkaplah diri kita menjadi manusia yang mendapat murka dari Allah SWT. Dan tidak mendapat kebahagian didunia maupun akhirat. Apakah itu Yang kita cari ?????

Wassalam

Eyang menggung

Abot Dhuwur Mikul Ngisor.

Ada unkapan dalam filosofi jawa yang berbunyi “Abot Dhuwur Mikul Ngisor”, Ungkapan ini memang sekarang tidak populer lagi. khususnya di kaum muda. Secara harafiah ungkapan ini sulit di untuk diterjemahkan kedalam pengertian bahasa Indonesia. Akan tetapi makna yang tersirat dari ungkapan ini, mengacu pada besar tanggung jawab yang menjadi beban seseorang yang telah dewasa. Dalam arti sudah memiliki keluarga, istri dan anak.

Dalam budaya kita, Lelaki memiliki kodrat sebagai pemimpin dalam rumah tangga. Maka tuntutan untuk bertindak sebagai pemimpin menjadi hal yang mutlak diperlukan. Inilah arti dari ungkapan “Abot Dhuwur”. Layaknya sebagai pemimpin, tentu ada hal2 yang harus dipersiapkan.Antara lain sikap dan budipekerti yang layak untuk di teladani, baik diteladani oleh orang lain (teman se usia) maupun kepada istri maupun anak2nya.
Yang menjadi pertanyaan.

1. Apakah pekerti kita sudah siap ?
2. Sejauh mana kita menghormati keluarga sendiri ?
3. Sejauh mana kita mampu memelihara rumah tangga kita untuk mewujudkan rumah tangga yang sakinah, mawadah dan warokhmah.

Ungkapan “Mikul Ngisor” bermakna implementasi tanggung jawab dalam menjaga kelangsungan generasi penerus. Yakni tanggung jawab kepada istri dan anak. Sebagai amanah yang menjadi tanggung jawab lelaki sebagai pemimpin rumah tangga untuk dapat memuliakan istri, dan mencerdaskan anak-anaknya.

Tidak sedikit kaum lelaki gagal menjalankan tanggung jawab sebagai pemimpin rumah tangga. Karena faktor yang sepele, yakni kepincut dengan perempuan lain. Sehingga melupakan tanggung jawabnya kepada keluarga.
Kalau hal ini terjadi, maka akan timbul rentetan alasan untuk menutupi segala bentuk kebohongan.

...................

Ahhhhh.kamu sekarang sudah menjadi lelaki.
Belajarlah menjadi lelaki sejati, belajarlah jadi satria sejati.
Hidup ini laksana gelanggang perkelahian,
Senjatamu adalah keputusanmu.
Kemenanganmu ditentukan oleh keputusanmu.

Kemenanganmu berada pada keputusamu untuk tetap setia kepada dirimu,
s e t i a kepada istrimu, s e t i a kepada anak-anakmu.

Kesetiaan adalah panglimamu.
Kebenaran dan kebaikan adalah nyawamu.
Dan.....jika panglimamu terkapar, tergolek kalah bertarung dan tewas
Maka kebenaran dan kebaikan akan loncat dari dalam ragamu.
Maka kau akan berjalan terseok laksana m a y a t h i d u p yang hanya punya n a f s u.
Tak ada lagi yang berharga didalam dirimu.

Bangun wahai kesetiaan, Ayo bangun...., panglima !!!
Gunakan senjatamu.

dipetik dan disarikan dari “Bende Mataram” karya Herman Prathikto

di posting oleh: Eyang menggung

Merenung Hahacaraka Bolak-Balik

Merenung HANACARAKA bolak balik.

Pendahuluan:
Sebenarnya tidak banyak yang saya ketahui tentang Hanacaraka selain dari apa yang pernah saya pelajari di sekolah dasar, lebih dari empat puluh tahun yang lalu. Juga karena saya dilahirkan dan dibesarkan di daerah Jawa pinggiran (Surabaya), maka pengertian saya tentang bahasa Jawa-pun sangatlah terbatas.
Setahun setelah diterimanya saya sebagai anggota seni pernapasan tapak panca belum mengetahui apa hubungannya seni pernapasan tapak panca dan Hanacaraka. Setelah menerima uraian Sastrajendra Hayuningrat , barulah saya sedikit melihat hal hal ataupun pengertian yang ada dibalik ke 20 suku suku kata dalam Hanacaraka.
Atas anjuran Mang Dipo saya mencoba merenungkan ke empat jurus Hanacaraka secara bolak balik (dari atas kebawah dan juga sebaliknya). Namun satu satunya bahan yang ada pada saya hanyalah uraian Kyai Makrus ditambah ingatan saya tentang empat buah ilustrasi Hanacaraka yang menggambarkan dua wayang yang sedang bercakap-cakap (Hanacaraka), bertengkar (Datasawala), berperang-tanding (Phadhajayanya) dan tergeletak mati (Magabathanga).
Membaca uraian Kyai Makrus yang mengatakan bahwa Hanacaraka sebenarnya adalah suatu ‘ilmu luhung’ yang sangat tinggi, maka saya mencoba membawa renungan saya kedalam meditasi untuk mendapatkan makna yang lebih mendalam dan berarti.
Dari renungan dan meditasi yang saya lakukan, perlahan lahan pengertian Hanacaraka yang hanya terdiri dari 20 suku kata tersebut menjadi semakin lama semakin meluas hingga mencakup segala apa yang pernah saya pelajari dan alami. Sampai kepada hal hal yang sekedar pernah saya baca, yang saya sendiri belum mengetahui kebenarannya, ternyata telah tersirat didalam Hanacaraka.
Suatu saat saya merasa bahwa mungkin saya telah menyimpang terlalu jauh dari pokok renungan dan tidak lagi sesuai dengan uraian Kyai Makrus yang saya jadikan bahan renungan semula, kecuali kalimat kalimat singkat yang menyertai ke 20 suku kata Hanacaraka di halaman pertama.
Mengingat kata kata Guru Besar Samsul Huda.SH bahwa pengertian yang dapat kita ambil dari Hanacaraka tergantung dari Caraka kita masing masing, maka dibawah ini akan saya coba uraikan pengertian yang saya dapatkan, walaupun masih terbatas karena keterbatasan kata kata dan bahasa.
Uraian empat jurus HANACARAKA
Keempat jurus Hanacaraka sebenarnya menyiratkan 4 tingkat alam kehidupan alam semesta yang tidak terbatas hanya kepada insan manusia diatas bumi ini.
Secara ringkas / garis besarnya:
1. Hanacaraka – menyiratkan dasar kesunyataan alam semesta pada tingkat yang tertinggi (mendasar). “ADA’-nya Cipta, Rasa dan Karsa sebagai sumber Kekuasaan yang tertinggi. Alam Tritunggal (Ca, Ra, Ka) yang Maha Kuasa.
2. Datasawala – menyiratkan alam kehidupan pada tingkat Monad, Logos. (Atma?) yang berada diluar dimensi ruang dan waktu. Ke-Maha-Kuasa-an yang didasari oleh Cipta, Rasa dan Karsa yang ada pada setiap Logos / Monad mulai dilengkapi dengan ‘kehendak’ / ‘niat’ yang melahirkan “Ingsun”.


3. Padhajayanya – menyiratkan alam kehidupan yang merupakan ‘manifestasi’ dari ‘kehendak’ / ‘niat’ dari jajaran Ingsun (Higher Selves) kedalam alam yang multi dimensi melalui proses evolusi alam semesta beserta seluruh penghuninya. Disini terciptalah dimensi ruang dan waktu serta timbulnya ‘perbedaan’ (dualisme) antara ingsun dan Ingsun (kawula lan Gusti)
4. Magabathanga – menyiratkan alam kehidupan dimana ingsun dengan bimbingan Ingsun (Guru Sejati) dan bantuan Bayu Sejati (bayangan kuasa Allah) melaksanakan ‘misi’nya (karsa) yang timbul dari ‘niat’ untuk ‘meracut’ busana manusia dialam fisik (alam kematian / tidak kekal). Alam jiwa dan raga.
Dengan meng-kaji keempat jurus diatas secara bolak balik dan berulang ulang, saya ‘mendapatkan’ pengertian tentang apa ‘misi’ kita sebenarnya dengan ‘turun’-nya kita ke dunia ini. Pengertian ini belum pernah terpikirkan oleh saya sebelumnya, dan juga belum pernah saya dapatkan dari ‘ajaran ajaran’ lain yang pernah saya ketahui. (Lihat MISI – Karsa manusia didunia ini.)
1. HANACARAKA - Dasar kesunyataan Ha-na-ca-ra-ka: Hana (ada) Ca, Ra, Ka (Cipta, Rasa, Karsa).

Ha – Huripku Cahyaning Allah. Hidup(ku) adalah cahaya Allah dimana Allah adalah sumber dari cahaya / kehidupan alam semesta. Lain dari definisi ‘hidup’ yang kita kenal selama ini, seluruh alam semesta sebenarnya penuh dengan kehidupan, mulai dari particle atom yang terkecil sampai kepada seluruh planet, bintang dan Galaxi beserta seluruh penghuninya, baik yang berada dalam dimensi kita, maupun dimensi dimensi lainnya yang tidak kita kenal/ketahui.

Na – Nur hurip cahya wewayangan. Nur hidup adalah cahaya yang membayang.
Terpengaruh oleh perlambang dalam permainan wayang, semula saya berkesan bahwa Allah adalah sumber cahaya kehidupan, Nur adalah cahaya yang membayang dan Caraka adalah wayangnya. Dalam konteks tersebut kita akan segera menganggap Caraka (utusan) sebagai Ingsun serta bayangan dilayar adalah ingsun (bayangan dari Ingsun).

Namun setelah saya renungkan kembali, ternyata jurus Hanacaraka ini menyiratkan dasar kesunyataan alam semesta yang berada dua tingkat diatas alam Ingsun. Ingsun baru muncul pada alam ketiga – Padhajayanya. (Maaf kalau pengertian saya tentang kata “Ingsun” mungkin kurang tepat.)

Baik dalam pengertian pertama maupun kedua, sebenarnya bisa kita simak rahasia penciptaan alam semesta yang mempunyai tiga aspek yang manunggal (Tritunggal). Dalam pengertian yang pertama, Ha, Na dan Caraka adalah ketiga aspek tersebut, sedangkan dalam pengertian kedua Caraka sendiri juga mengandung ketiga aspek yang sama yakni Cipta, Rasa dan Karsa.

Ca – Cipta rasa karsa kwasa.
Tritunggal Cipta, Rasa dan Karsa adalah aspek aspek yang mendasari kwasa / kekuasaan yang tertinggi (Maha Kuasa) diseluruh alam semesta.

Ra – Rasa kwasa tetunggaling pangreh.
Aspek Rasa (Rahsa sejati) yang terkandung didalam Tritunggal diatas merupakan aspek kendali dalam kekuasaan yang Maha Tinggi tersebut.

Ka – Karsa kwasa kang tanpa karsa lan niat.
Karsa, hasil ataupun ‘wujud’ dari Tritunggal diatas adalah kwasa / ke-Maha-Kuasa-an yang masih murni, yang belum diwarnai oleh keinginan ataupun kehendak.

Manifestasi dari Tritunggal (Caraka, utusan Allah) yang Maha Kuasa tersebut diatas terjelma / terjadi didalam alam Datasawala yang penuh dengan jajaran Monads, Logos dll. yang berkuasa penuh dalam alam manifestasinya masing masing.



2. DATASAWALA - Alam Monad / Logos (Atma?)

Da-ta-sa-wa-la menyiratkan alam kehidupan pada tingkatan Logos, (Solar / Planetary Logos) dan Monad / Atman. Pengalaman pribadi yang saya alami di bulan Agustus 1997 yang lalu memberikan gambaran tentang alam ini, dimana kesadaran saya terlebur dalam sebuah ‘bola cahaya’, atau lebih tepatnya (karena tak ingat bentuk, pinggiran/batasannya), semacam awan yang mula mula berwarna kelabu dan semakin lama semakin cemerlang.

Juga dialami adanya Rahsa kebahagiaan dan kebebasan yang tiada taranya (sempurna / perfect bliss) serta semacam ‘kesadaran’ tanpa menyadari siapa yang sadar, atas hubungan (inter-connected-ness) diantara ‘segalanya’, termasuk batuan, tumbuhan, hewan serta raga raga manusia walaupun tanpa ‘bentuk’ yang nyata maupun tenggang masa (diluar dimensi ruang dan waktu)

Semula saya mengira bahwa awan cemerlang tersebut adalah segalanya dalam alam semesta ini (ALL THAT IS), namun dari membaca berbagai literature seperti “The RA Material”, “The Only Planet of Choice” dll, saya menganggap bahwa apa yang saya alami mungkin baru mencapai tingkat Monadic atau Atman dan belum sampai kepada kemanunggalan yang tertinggi.

Meminjam istilah RA, yang menyebutnya sebagai “Social Memory Complex”, awan cemerlang tersebut merupakan kesatuan dari berjuta-juta Ingsun (Higher Self) yang ber-evolusi bersama-sama.

“The Only Planet of Choice” menyebutkan adanya 24 “Civilization” utama dengan beratus/ribu sub-civilisations seperti misalnya Atlantean (Atlantis dan Lemuria) yang tergabung dalam “Altean Civilization”. Dalam Al-kitab, 24 Civilization ini disebutkan sebagai 24 tua tua yang duduk disamping Tuhan. (mungkin di Wahyu / Revelation namun entah ayat yang mana)

Ternyata hal hal diatas sudah tersirat dalam rumusan Datasawala secara jelas:

Da – Dumadi kang kinarti
Tumitah/menjadi ada/terjadi dengan membawa maksud, rencana dan makna sebagai Karsa (‘hasil’/’wujud’) dari Tritunggal (Caraka) diatas.

Ta – Tetep jumeneng ing dzat kang tanpa niat.
Tetap berada dalam dzat (Nur hidup cahaya yang membayang) diluar dimensi ruang dan waktu serta masih murni, belum diwarnai oleh kehendak atau niat, walaupun sudah membawa maksud, rencana dan maknanya masing masing.

Sa – Sifat hana kang tanpa wiwit.
Sifatnya ‘ada’ namun tanpa asal usul. Kekal, berada diluar dimensi waktu dimana tidak ada perbedaan antara waktu lalu, sekarang maupun yang akan datang.

Wa – Wujud hana tan kena kinira.
Wujudnya ‘ada’ namun tak berbentuk. Manunggal, berada diluar dimensi ruang dimana tak ada perbedaan antara sini atau sana, dekat atau jauh, atas atau bawah, depan atau belakang.

La – Lali eling wewatesane.
Lupa ingat adalah batasannya. Tersirat dalam kalimat tiga kata diatas adalah terjelmanya free-will, niat, kehendak yang bebas, hanya dengan batasan ‘ingat’ ataupun ‘lupa’ akan maksud, rencana dan makna yang sudah digariskan semula sesuai Karsa Tritunggal diatas.



Dengan timbulnya ‘kehendak bebas’ maka ‘adalah’ / terjadilah Ingsun (Higher Self / Guru Sejati) yang merupakan bagian yang tak terpisahkan dari Atman. Setiap Ingsun dilengkapi oleh ‘kehendak’ / niat sesuai dengan karsa, maksud, rencana dan maknanya masing masing.

Manifestasi dari kehendak yang sesuai dengan karsa menciptakan alam ketiga, alam Ingsun yang tersirat dalam rumusan Padhajayanya.

3. PADHAJAYANYA – Alam Ingsun dan ingsun
Pa-dha-ja-ya-nya menyiratkan terciptanya dimensi ruang dan waktu. Dengan adanya dimensi ruang terjadi pula ‘perbedaan’ antara Ingsun dan ingsun. Dan dengan adanya waktu terjadi pula proses evolusi.

Disini tersirat pula hakikat ingsun yang masih bersatu dengan sang Ingsun. Adanya ‘Rasa’ membuat semuanya ‘nyata’ tanpa melihatnya dengan mata, dan semuanya bisa dimengerti walaupun tanpa diajari. Namun demikian dalam alam ini ‘rasa’ yang ada belum dapat diwujudkan.

Per‘wujud’an (karsa) dari rasa tersebut baru ter-manifestasi-kan dalam alam berikutnya.

Pa – Papan kang tanpa kiblat. Papan tak berkiblat.
Kata kata “papan” dan “kiblat” menyiratkan adanya dimensi ruang yang baru pertama kali disebutkan dalam tingkat Padhajayanya. Dihubungkan dengan teori ilmu fisika alam, dalam kalimat ini tersirat terjadinya “Big Bang”. Perlu ditambahkan bahwa masih banyak dimensi dimensi lain diluar ketiga dimensi ruang yang kita kenal.

Dha – Dhuwur wekasane endhek wiwitane. Tinggi/luhur pada akhirnya, rendah pada awalnya.
Terciptanya dimensi ruang segera disusul dengan terciptanya dimensi waktu. Dan dalam kalimat sederhana diatas tersirat pula adanya proses ‘evolusi’ dalam ‘waktu’ yang bermula dari kesederhanaan.

Ja – Jumbuhing kawula lan Gusti. Bersatunya antara hamba dan Tuannya.
Dengan terjadinya dimensi ruang terjadi pula ‘perbedaan’ antara kawula dan Gusti walaupun masih berada dalam kesatuan.

Ya – Yen rumangsa tanpa karsa.
Adanya Rasa namun masih belum dilengkapi dengan karsa. (belum dapat di’wujud’kan).

Nya – Nyata tanpa mata ngerti tanpa diwuruki.
Dengan adanya Rasa semuanya di-’rasa’-kan nyata walaupun tanpa melihat dengan mata, dan semuanya bisa mengerti walaupun tanpa diajari.

Kedua kalimat terakhir diatas menggambarkan hakikat ingsun yang masih bersatu dengan sang Ingsun. Dalam alam Padhajayanya yang berdimensi waktu, baik Ingsun maupun ingsun mengalami proses evolusi.

Ingsun sebagai bagian tak terpisahkan dari Monad-nya di alam Datasawala, ber-evolusi di alam Padhajayanya dalam rangka manifestasi dari ‘kehendak’ (niat) yang ada padanya sesuai Karsa yang telah digariskan. Tergantung dari tahapan evolusi yang dicapai, Ingsun dapat merupakan ‘kumpulan’ dari ingsun ingsun yang tak terbilang banyaknya, dimana jajaran ingsun tersebut juga ber-evolusi dari hasil pengalamannya ber-karsa di alam Magabathanga.

4. MAGABATHANGA – Alam jiwa dan raga


Ma-ga-ba-tha-nga menyiratkan alam jiwa dan raga, dimana ingsun ber’karsa’ dengan cara ber- re-inkarnasi berulang kali, untuk ‘hidup’ di alam ‘kematian’.

Dalam rangka me’wujud’kan rasa dengan ber’karsa’ dialam kematian, ingsun dibimbing oleh sang Ingsun (Guru Sejati) dan dibantu oleh Bayu Sejati yang merupakan bayangan dari kekuasaan yang tertinggi.

Karsa yang dilaksanakan dengan hidup di alam kematian adalah memberikan ‘hidup’ kepada unsur unsur yang ada (tanah, air, udara dan api) serta meracutnya sedemikian rupa sesuai dengan rasa yang hendak di-karsa-kan (diwujudkan).

Ma – Mati bisa bali. Mati bisa kembali.
Dalam hal ini, ingsun yang memasuki alam kematian memberikan ‘hidup’ kepada unsur unsur yang ada, akan kembali kealam kehidupan.

Ga – Guru Sejati kang muruki
Dalam rangka ber-‘karsa’, ingsun dibimbing oleh Ingsun (Guru Sejati)

Ba – Bayu Sejati kang andalani
Bayu Sejati yang merupakan bayangan kekuasaan yang maha tinggi merupakan bantuan yang dapat diandalkan dalam ber-karsa.

Tha – Thukul saka niat.
Karsa yang dilakukan dengan masuknya ingsun ke alam kematian timbul dari niat / kehendak yang luhur, yang timbul pada saat ‘lahirnya’ Ingsun sebagai bagian dari Monad di alam Datasawala.

Nga – Ngracut busananing manugsa
Meracut busana manusia ternyata adalah ‘misi’ utama dari ingsun yang menjelma sebagai manusia.
MISI – Karsa manusia di dunia ini.
Dari meng-kaji keempat jurus Hanacaraka secara bolak balik secara berulang kali selama dua minggu, pada akhirnya saya mendapatkan suatu gambaran tentang apa yang terjadi di alam semesta ini, dan apa sebenarnya ‘misi’ kita menjelma menjadi manusia secara berulang kali. Hal mana terjadi ketika saya mencoba menelusuri Hanacaraka dari bawah keatas, dari Nga sampai kepada Da dan secara tiba tiba teringat akan ajaran agama Hindu tentang Trimurti (Brahma, Wishnu dan Shiva) serta istilah Theosophy – The First, Second and Third Outpourings dalam buku “Man visible and invisible” yang menerangkan proses evolusi.
Gabungan agama Hindu, Theosophy dan Hanacaraka di jurus Datasawala, secara tiba tiba membuka suatu wawasan yang sama sekali baru bagi saya.
Jurus Datasawala diatas menyiratkan alam pada tingkat Logos dan Monad yang memanifestasikan kehendaknya di alam Padhajayanya melewati proses evolusi. Menurut ajaran Theosophy evolusi alam terjadi dalam tiga tahapan. The First Outpouring menciptakan alam elemental (mulai dari energy yang berevolusi sampai kepada unsur unsur kimia yang ada), The Second Outpouring memberikan bentuk kepada elemen elemen tersebut mulai dari terbentuknya bintang dan planet sampai kepada hewan. (Mineral, Vegetation and Animal Kingdoms), dan The Third Outpouring memberikan esensi ke-Allah-an yang akan mendorong evolusi dari Animal Kingdom melalui Manusia kembali ke Tuhan/Allah.
Disini juga terlihat analogy dengan Trimurti dari ajaran Hindu dimana Dewa Brahma (Pencipta) analog dengan The First Outpouring. Dewa Wishnu (Pemelihara) analog dengan The Second Outpouring dan Dewa Shiwa (Perusak) analog dengan The Third Outpouring yang merusak/merubah untuk mendorong terjadinya evolusi.


Kembali ke Hanacaraka dari atas ke bawah, dari Ha sampai ke Nga, terlihat jelas bahwa “Ngracut busananing manugsa” adalah misi ingsun dan Ingsun untuk berpartisipasi dalam proses evolusi di bumi ini sebagai bagian dari The Third Outpouring.
Dihubungkan dengan ajaran Seni pernapasan Tapak Panca, misi untuk meracut busana manusia ini adalah sama dengan mengajak dan mendorong saudara saudara kita yang 9 untuk ber-evolusi. Saudara saudara kita tersebut sebenarnya merupakan bagian dari planetary logos bumi ini (Gaia) yang merupakan sub-logos dari Solar Logos yang mempunyai ‘acara’nya sendiri dalam memanifestasikan Cipta, Rasa, Karsa yang ada padanya. Kita adalah ‘tamu’ yang datang untuk membantu.
Cerita tentang benua Atlantis yang tenggelam (hancur) menimbulkan pemikiran bahwa mungkin perkembangan evolusi yang terjadi pada saat itu telah menyimpang dari jalur evolusi yang sudah digariskan sebelumnya oleh Solar Logos dan kehendaki oleh Gaia.
Apakah perjalanan misi kita, manusia saat ini, masih sesuai dengan jalur evolusi Gaia yang telah digariskan????
Silahkan melanjutkan renungan ini.

Eyang menggung

Sastrajendra (HaNaCaRaKa...)

Kita semua telah membicarakan Nama2 Tuhan, namun tetap saja diantara sesama kita baik satu agama/kepercayaan apalagi berbeda agama/kepercayaan. Namun Kita gagal untuk membedakan antara kata yang diucapkan Dan ditulis dengan Firman sejati yang tak dapat diucapkan Dan tak dapat ditulis.

Sedangkan Nama-nama Sejati Tuhan, yang di/tertulis dalam Kitab Suci Seperti: Allah, Jehovah, Hyang Kawekas, Rahim, Radhasoami Dan lain-lainnya Itu dapat diucapkan Dan ditulis, asal usulnya dapat Kita telusuri baik Ada didalam Kitab Suci ataupun Kitab-kitab lainnya.Tetapi nama Sejati ini Telah Ada sebelum adanya ciptaan. Seluruh alam semesta, termasuk waktu Dan Ruang, telah diciptakan oleh Nama itu, dari Nama itu.

Daya 'CIPTA' ini yang kita ketahui dari Kitab-kitab Suci dengan apa yang Disebut: Allah, Firman, Nam (Nama), Dhun (nada), Suara dari Sorga, Kalimat (Firman), Kun (perintah), Bang-I-Llahi (suara Tuhan), Logos, Roh Kudus, Penghibur, Air Penghidupan.

Semua Orang-orang Pilihannya mengatakan bahwa Tuhan Dan Sabda adalah satu Dan sama, bahwa Sabda menciptakan seluruh alam semesta, dimana Alkitab Dikatakan:

" Pada mulanya adalah Firman. Firman itu bersama-sama dengan Allah, Dan Firman itu adalah Allah......Yoh 1:1-5.

Tidak Ada bedanya antara Sabda itu atau Nama Tuhan Dan Tuhan Sendiri. "Antara Nama Dan Yang Dinamakan, tidak Ada bedanya" Nama inilah yang dapat Melepaskan pikiran dari kesenangan inderawi Dan memberikan kesukaan rohani, Dan IA mampu membimbing jiwa menuju keselamatan.

Dalam bentuk sabda inilah, Tuhan meresap kedalam seluruh ciptaanNya, Nama Atau Sabda itu tidak bisa ditemukan didalam Kitab-Kitab Suci sebab Sabda Itu telah 'berujud'. Maka para Nabi Dan orang pilihanNya pada zamannya Masing-masing telah menemukan 'Mutiara' nya masing-masing Dan menuangkan Semua pengalamannya Dan dituliskan didalam Kitab Suci untuk memberikan Bimbingan kepada umat-umatnya.

Dari apa yang tertulis didalam Kitab Suci, Kita bisa mengetahui baik Kesulitan Dan kemudahan yang mereka jalankan pada waktu itu Dan Kita Memperoleh gambaran yang mungkin jelas bisa Kita terima atau belum jelas Atau bahkan bingung akan keterangan yang tertulis didalam Kitab Suci. Kalau Kita mau menghayati dengan sejujurnya, bahwa Kitab Suci sebenarnya Menceritakan bagaimana para Nabi, Utusan Dan orang pilihanNya itu semua Adalah menceritakan bagaimana cara untuk menemukan 'Mutiara-mutiara' yang Sudah mereka temukan Dan disampaikan kepada 'pembaca' Kitab Suci itu cara Untuk menemukannya, seperti mereka telah menemukannya?

Sekedar membaca Kitab Suci atau mendengarkan ajaran para suci itu masih Belum cukup. Kita harus mempraktekkan ajaran itu Dan menempuh jalan yang Sudah diberikannya kepada yang membacanya. Hal ini tentunya hanya ditujukan kepada orang-orang yang ingin Dan berusaha Untuk menyatu kembali dengan Sang Pencipta. Atau bahasa latinnya 'Manunggaling Kawulo LAN Gusti', didalam Alkitab Pengkhotbah 12:7; "Debu Kembali menjadi tanah Dan roh kembali kepada Allah yang mengaruniainya", Inna Lillahi Wa inna Ilayhi Rojiun.

Sehingga tidak akan terjadi seperti apa yang tertulis didalam Alkitab: Tuhan...Tuhan, bukankah saya selalu memuji Dan memakai Namamu setiap Pekerjaan yang saya lakukan sewaktu didunia? Jawab Tuhan:" Pergilah kamu, Sebab saya tidak mengenal kamu".(terjemahan bebas).

Jauh sebelum panggung sandiwara digelar...
Sang Sutradara sedang didalam ke-sendirian-nya kemudian menciptakan suatu Karya tulisan yang nantinya akan digelar Dan diwujudkan didalam suatu Pagelaran yaitu 'panggung sandiwara'. Didalam 'karya' tulisnya itu tertulis / diciptakan adanya dua sifat dari masing-masing sifat dari para pelaku satu Dengan yang lainnya saling berlawanan Dan Ada sifat yang berada diantara Kedua sifat itu. Sebab setelah dirasakan bahwa tanpa kedua sifat itu akan
Terasa tidak Ada seninya didalam pegelaran didalam panggung sandiwara Nantinya.
Dengan kata lain tidak akan 'seru' kalau tidak Ada kedua sifat itu, tidak Ada yang dikorbankan Dan mengorbankannya.

Kemudian Sang Sutradara menciptakan sesuatu yang sudah dirasaken itu Berjalan dengan baik sesuai dengan apa yang dirasaken, maka diujudkan Rasanya itu dengan kehendak Sang Sutradara atau disebut karsanya Sang Sutradara, terwujud dua 'bentuk' sifat yaitu sifat baik Dan sifat jahat Dengan kuasanya Dan masing-masing bentuk itu diberi 'tugas' untuk memilih Apa yang sudah ditetapken oleh sang sutradara akan bagiannya masing-masing Sebagai pengikutnya.

Jadi tugasnya hanya untuk memilih bagiannya masing-masing nantinya, Dan Untuk menghindari terjadinya keributan satu sama lainnya, maka keduanya Diberikan suatu pengetahuan untuk mengetahui bagiannya masing-masing dan Hanya dibolehkan memberikan peringatan-peringatan atau menggoda satu sama Lainnya 'agar' bisa menjadi bagiannya. ('agar' disini perwujudan dari sifat Yang berada diantaranya) bimbang mau ikut yang baik atau yang jahat Dan pada Akhirnya bisa menentukan harus pilih salah satu :-)
Biar panggung sandiwara itu kelihatan hidup, seru Dan rame. Memang inilah 'inti' dari tugasnya adalah untuk supaya panggung sandiwara itu terlihat Dan Berjalan dengan apa adanya Dan berjalan seolah tanpa direkayasa :-). Tetapi tidak bisa menentukan bahwa 'dia' harus jadi pengikutnya atau tidak, sebab Bagiannya sudah ditentuken oleh Sang Sutradara akan si'anu' itu bagian baik Atau si'una' itu jatahnya yang jahat.

Setelah dilihat oleh Sang Sutradara bahwa kedua bentuk sifat itu baik semua, Maka mulailah sang sutradara menciptakan 'panggung' untuk persiapan Pagelaran sandiwara. Dan sesuai dengan bentuk dari kedua sifat yang sudah Diciptakan sebelumnya. Maka panggung itu juga diciptakan sesuai dengan apa Yang diciptakan sebelumnya yaitu yang mempunyai kedua sifat tersebut. Atau Kalau bahasa langit disebut : Sesuai dengan GambarNya. Kemudian mulailah Sang Sutradara mengisi panorama alam sesuai dengan kebutuhan Dan situasi Kapan pementasan sandiwara dimulai.

Untuk mewujudkan dari kedua bentuk sifat yang telah diciptakan oleh sang Sutradara maka diciptakanlah wadah untuk menerima dari kedua bentuk sifat Tersebut yang dibuat dari sari pati tanah. Dan kemudian ditiupkan dari nafas Sang Sutradara, maka hiduplah wadah tersebut Dan diberi nama Adam Kemudian diciptakan Hawa sebagai pasangannya untuk memenuhi adanya kedua Bentuk sifat yang telah dibentuk sebelumnya. Makanya bentuk sifat yang baik Yang telah dahulu diciptakan dari wadah itu berani berkata: "Aku sudah Ada Sebelum Adam", demikian juga dengan bentuk sifat yang jahat pun sudah Ada Sebelum Adam diciptakan.

Pada saat Adam Dan Hawa berada di panggung pentas babak pertama kedua bentuk Sifat itu masih berada 'diluar' wadah Adam Dan Hawa. Maka pada saat itu Adam Dan Hawa belum bisa Dan mengerti mana yang baik Dan yang jahat. Kerjaannya Hanya makan Dan tidur Dan hanya di temani Dan ngobrol dengan malaikat Dan Binatang-binatang saja. Semua boleh dimakan oleh mereka kecuali satu 'pohon' Buah yaitu buah akan pengetahuan yang baik Dan yang jahat.

Pada Hari yang sudah ditentukan oleh Sang Sutradara maka kedua bentuk sifat Itu dipanggil oleh Sang Sutradara untuk melaksanakan tugas nya yang sudah Ditentuken Dan jangan Lao-Lao lagi di taman firdaus saja :-)
Maka bekaryalah kedua bentuk sifat itu untuk saling mengerjakan apa yang Sudah menjadi tugasnya masing-masing Dan terjadilah serti apa yang sudah Tertulis didalam Kitab-kitab.

Dengan dimakannya buah itu maka masuklah kedua bentuk sifat itu kedalam Wadah Adam Dan Hawa sehingga mereka mengetahui akan makna pengetahuan yang Baik Dan mana yang jahat......... Panggung Sandiwara itu sampai sekarang masih berlangsung Dan sampai entah Kapan..... TaMaT... Sebab tamat itu dibolak-balik tetep TaMaT... :-))
Sebagai bentuk dari "Imaginary Friends" itulah yang Sudah saya sebut didalam topik itu adalah kedua bentuk sifat atau yang Lazimnya didalam agama disebut : Nur, Roh Kudus, Yin Dan Yang atau Lain-lainnya sesuai dengan namanya menurut agamanya masing-masing. Dan Mereka ber-ujud menyesuaikan kepada yang ditemuinya agar yang temuinya itu Takut atau tidak. Karena sebagian dari mereka itu Ada yang di-tugaskan Memasuki wadahnya Dan Ada yang hanya sebagai utusanNya, yang masuk kedalam Wadah diri Kita yaitu perwujudan dari Kita sendiri dengan segala sifat Dan Tabiat Kita dari sejak Kita lahir, sekarang Dan yang akan datang Dan Perwujudan dari sebagai utusan adalah seperti malaikat atau iblis Dan Lain-lainnya. Sebagai referensinya saya persilahkan melihat Kitabnya BASAH-nya Masing-masing :))


matur suwun eyang menggung

Senin, 18 Agustus 2008

RESI DRIYA

Karya sastra Jawa Klasik berbahasa Jawa Baru, berbentuk puisi tembang macapat, bernafaskan Islam dan berisi ajaran tasawuf. Disebut juga mistis karena berisikan tentang jalan ke arah kesempurnaan batin, kepercayaan bahwa pengetahuan kepada kebenaran dan Allah dapat dicapai dengan jalan penglihatan batin. Istilah Resi Driya mempunyai makna ‘orang arif dalam mengenal dan mengandalkan indranya’. Isi teks merupakan ajaran kerohanian yang disampaikan oleh Resi Driya, dengan harapan mudah-mudahan pembaca atau pendengar tergugah hatinya untuk memperbaiki akhlaknya dan menjalankan perintah agama sehingga dapat selamat di dunia dan akhirat. Ajaran kerohanian dituangkan dalam ajaran pengenalan jati diri melalui pemanfaatan indra manusia.

Manusia hendaklah mendekatkan diri kepada Tuhan agar mendapatkan kesalamatan di dunia dan akhirat, tetapi tidak mengasingkan diri dari keramaian kehidupan dunia. Ia harus mengetahui dan mengenali bahwa Tuhan itu ada dan Esa, tidak ada sesuatu yang menyamainya. Pengenalan dan kepercayaan terhadap kekuasaan Tuhan timbul dari terbukanya indra manusia yang selaras dengan nikmat dan amanat-Nya. Pada taraf ini dorongan nafsu pemuas diri telah terkendali, segala kewajiban dikerjakan dengan cermat, dihadapi dengan sabar dan tawakal. Dengan berbekal akhlak yang baik maka keselarasan hubungan manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan dengan isi alam raya akan tercapai. Indra manusia diciptakan utntuk mengungkapkan simbol-simbol yang tak terbatas. Apabila seluruh indra dipenuhi nafsu, maka manusia tidak akan menemukan jati dirinya. Dengan ketaatan, nikmat, dan amanat-Nya dalam memanfaatkan indra, maka jati dirinya akan ditemukan. Dengan ditemukan jati dirinya, tabir menuju kepada-Nya akan tersingkap. Unsur hidup manusia terdiri atas : raga, jiwa, dan sukma. Raga adalah wujud fisik atau badan manusia, jiwa adalah kesadaran hidup yang mendorong adanya cipta, rasa dan karsa. Sukma adalah sinar Ilahi penerang jiwa.

Empat nafsu yang disebutkan dalam suluk ini adalah nafsu yang berasal dari mata, hidung, telinga dan mulut. Nafsu lauwamah timbul dari mulut atau lidah, nafsu amarah timbul dari telinga, nafsu sufiah timbul dari mata, dan nafsu mutmainah timbul dari hidung. Tiga hal yang harus disingkirkan adalah nafsu sufiah, amarah dan lauwamah. Nafsu mutmainah tempatnya dihati, oleh sebab itu manusia apabila hatinya telah tergoyahkan, maka tidak bisa mengelak, pasti mendapat celaka. Segala yang berangkat dari nafsu akan menghasilkan sesuatu yang dapat mencelakakan dirinya, tetapi apabila berangkat dari hati nurani, maka akan terbimbinglah hidupnya. Seluruh uraian yang terkandung di dalamnya pada hakikatnya menunjukkan cara menuju kemanunggalan diri sendiri dengan Tuhan.

eyang menggung

ASTHABRATA

AJARAN ASTHABRATA pada awalnya merupakan ajaran yang diberikan olah Rama kepada Wibisana. Ajaran tersebut terdapat dalam Serat Rama Jarwa Macapat, tertuang pada pupuh 27 Pangkur, jumlah baitnya ada 35 buah. Pada dua pupuh sebelumnya diuraikan kekalahan Rahwana dan kesedihan Wibisana. Disebutkan, perkelahian antara Rahwana melawan Rama sangat dahsyat. Seluruh kesaktian Rahwana ditumpahkan dalam perkelahian itu, namun tidak dapat menendingi kesaktian Rama. Ia gugur oleh panah Gunawijaya yang dilepaskan Rama. Melihat kekalahan kakaknya, Wibisana segera bersujud di kaki jasad kakaknya dan menangis penuh kesedihan.

Demikian antara lain diungkapkan Prof. DR. Marsono (52), Dosen Fakultas Budaya Jurusan Sastra UGM, di hadapan peserta sarasehan Jumat Kliwonan Lembaga Javanologi, di nDalem Joyodipuran, Yogyakarta, pada 6 Juli 2001. Dalam sarasehan yang dihadiri 30 peserta, Marsono mengatakan, Rama menghibur Wibisana dengan memuji keutamaan rahwana yang dengan gagah berani sebagai seorang raja yang gugur di medan perang bersama balatentaranya. Oleh Rama, Raden Wibisana diangkat menjadi Raja Alengka menggantikan Rahwana. Rama berpesan agar menjadi raja yang bijaksana mengikuti delapan sifat dewa yaitu Indra, Yama, Surya, Bayu, Kuwera, Brama, Candra, dan Baruna. Itulah yang disebut dengan Asthabrata

Secara rinci Marsono menguraikan masing-masing ajaran dengan memberikan kutipan teks sebagaimana terdapat dalam Serat Rama Jarwa Macapat, Nitisruti dan Ramayana Kakawin Jawa Kuna.

1. Sang Hyang Indra adalah Dewa Hujan. Ia mempunyai sifat menyediakan apa yang diperlukan di bumi, memberikan kesejahteraan dan memberi hujan di bumi.

2. Sang Hyang Yama adalah Dewa Kematian. Ia membasmi perbuatan jelek dan jahat tanpa pandang bulu.

3. Sang Hyang Surya adalah Dewa Matahari. Sifatnya pelan, tidak tergesa-gesa, sabar, belas kasih dan bijaksana.

4. Sang Hyang Candra adalah Dewa Bulan, ia selalu berbuat lembut, ramah dan sabar kepada siapa saja.

5. Sang Hyang Bayu adalah Dewa Angin. Ia bisa masuk ke mana saja ke seluruh penjuru dunia tanpa kesulitan. Segala perilaku baik atau jelek kasar atau rumit di dunia dapat diketahui olehnya tanpa yang bersangkutan mengetahuinya. Ia melihat keadaan sekaligus memberikan kesejahteraan yang dilaluinya.

6. Sang Hyang Kuwera adalah Dewa Kekayaan. Sifatnya ulet dalam berusaha mengumpulkan kekayaan guna kesejahteraan warga masyarakatnya. Ia sebagai penyandang dana.

7. Sang Hyang Baruna adalah Dewa Samudera. Sifat Samudera bisa menampung seluruh air sungai dengan segala sesuatu yang ikut mengalir di dalamnya. Namun samudera tidak tumpah. Hyang Baruna seperti samudera bisa menampung apa saja yang jelek ataupun baik. Ia sabar dan berwawasan sangat luas, seluas samudera.

8. Sang Hyang Brama adalah Dewa Api . sifat api bisa membakar menghanguskan dan memusnahkan benda apa saja. Ia pun dapat memberikan pelita dalam kegelapan Hyang Brama seperti api bisa membasmi musuh dan segala kejahatan sekaligus bisa menjadi pelita bagi manusia yang sedangdalam keadaan kegelapan.

Kalau dirangkum amanat asthabrata yang harus dimiliki oleh seorang pemimpin itu sebagai berikut : Dapat memberikan kesejukan dan ketentraman kepada warganya: membasmi kejahatan dengan tegas tanpa pandang; bersifat bijaksana, sabar , ramah dan lembut; melihat, mengerti dan menghayati seluruh warganya; memberikan kesejahteraan dan bantuan dana bagi warganya yang memerlukan; mampu menampung segala sesuatu yang datang kepadanya, naik yang menyenangkan maupun yang tidak menyenangkan; gigih dalam mengalahkan musuh dan dapat memberikan pelita bagi warganya. Ajaran ini tetap relevan bagi para pemimpin kita hingga kini sampai ke masa depan.

eyang menggung

WEDHATAMA

Secara semantik, Serat Wedhatama terdiri dari tiga suku kata, yaitu: serat, wedha dan tama. Serat berarti tulisan atau karya yang berbentuk tulisan, wedha artinya pengetahuan atau ajaran, dan tama berasal dari kata utama yang artinya baik, tinggi atau luhur. Dengan demikian maka Serat Wedhatama memiliki pengertian: sebuah karya yang berisi pengetahuan untuk dijadikan bahan pengajaran dalam mencapai keutamaan dan keluhuran hidup dan kehidupan umat manusia.Serat Wedhatama yang memuat filsafat Jawa ini ditulis oleh Kangjeng Gusti Pangeran Arya (KGPA) Mangkunegara IV yang terlahir dengan nama Raden Mas Sudira pada hari Senin Paing, tanggal 8 Sapar, tahun Jimakir, windu Sancaya, tahun Jawa 1738, atau tahun Masehi 3 Maret 1811.

Semasa hidupnya, beliau memerintah Kasunanan Mangunegaran selama 25 tahun sejak 24 Maret 1853 dengan catatan prestasi di antaranya: di bidang pemerintahan, beliau mempertegas batas wilayah batas Kasunanan Mangunegaran; di bidang pertahan dan militer, beliau menerapkan kewajiban mengikuti pendidikan selama 6-9 bulan bagi para kerabat dewasa, yang kemudian harus menjadi pegawai negara dalam berbagai bidang. Di bidang ekonomi, beliau berhasil membangun pusat-pusat kegiatan ekonomi yang memberikan kesejahteraan bagi rakyat, seperti pabrik gula di Colomadu dan Tasikmadu, pabrik bungkil di Polokarto, pabrik genteng dan perkebunan karet di beberapa tempat dan lain sebagainya. Sedang di bidang sosial budaya, menghasilkan karya sastra, tarian jawa, pembaharuan dalam musik gamelan Jawa dan sebagainya.

Sri Mangkunegara wafat pada hari Jumat tanggal 8 September 1881 pada usia 70 tahun. Beliau telah meninggalkan warisan yang tak ternilai harganya. Namun seiring dengan perjalanan waktu, nilai budaya luhur yang ditinggalkannya secara pelan dan pasti semakin tergerus budaya asing dalam perjalanan waktu. Hal ini terjadi karena generasi muda penerus budaya dan kehidupan bangsa ini lebih pada kenyataannya banyak yang budaya manca dalam berbagai bentuknya, yang kebanyakan justru menjauhi esensi hidup dan kehidupan umat manusia dan alam semesta.

Agar Serat Wedhatama ini lebih mudah dipelajari dan dipahami berbagai lapisan masyarakat, disini disajikan naskah dalam versi Bahasa Jawa dan versi Bahasa Indonesia.








Bahasa Jawa

Bahasa Indonesia
1.







2.







3.







4.







5.







6.







7.







8.







9.







10.







11.







12.







13.







14.


# Mingkar mingkuring angkara
# Akarana karenan mardi siwi
# Sinawung resmining kidung
# Sinuba sinukarta
# Mrih kretarta pakartining ngelmu luhung
# Kang tumrap neng tanah Jawa
# Agama ageming aji

# Jinejer neng Wedhatama
# Mrih tan kemba kembenganing pambudi
# Mangka nadyan tuwa pikun
# Yen tan mikani rasa
# Yekti sepi asepa lir sepah samun
# Samangsane pakumpulan
# Gonyak-ganyik nglilingsemi

# Nggugu karsane priyangga
# Nora nganggo paparah lamung angling
# Lumuh ingaran balilu
# Uger guru aleman
# Nanging janma ingkang wus waspadeng semu
# Sinamun ing samudana
# Sesadon ingadu manis

# Si pengung ora nglegewa
# Sangsayarda denira cacariwis
# Ngandhar-andhar angendhukur
# Kandhane nora kaprah
# Saya elok alangka longkanganipun
# Si wasis waskitha ngalah
# Ngalingi marang si pingging

# Mangkono ngelmu kang nyata
# Sanyatane mung weh reseping ati
# Bungah ingaran cubluk
# Sukeng tyas yen den ina
# Nora kaya si punggu anggung gumunggung
# Agungan sadina-dina
# Aja mangkono wong urip

# Uripe sapisan rusak
# Nora mulur nalare ting saluwir
# Kadi ta guwa kang sirung
# Sinerang ing maruta
# Gumarenggeng anggereng anggung gumrunggung
# Pindha padhane si mudha
# Prandene paksa kumaki

# Kikisane mung sapala
# Palayune ngendelken yayah-wibi
# Bangkit tur bangsaning luhur
# Lah iya ingkang rama
# Balik sira sasrawungan bae durung
# Mring atining tata krama
# Ngon-anggo agama suci

# Socaning jiwangganira
# Jer katara lamun pocapan pasthi
# Lumuh asor kudu unggul
# Sumengah sosongaran
# Yen mangkono kena ingaran katungkul
# Karem ing reh kaprawiran
# Nora enak iku kaki

# Kekerane ngelmu karang
# Kakarangan saking bangsaning gaib
# Iku boreh paminipun
# Tan rumasuk ing jasad
# Amung aneng sajabaning daging kulup
# Yen kapengkok pancabaya
# Ubayane mbalenjani

# Marma ing sabisa-bisa
# Babasane muriha tyas basuki
# Puruita kang patut
# Lan traping angganira
# Ana uga angger-ugering keprabun
# Abon-aboning panembah
# Kang kambah ing siyang ratri

# Iku kaki takokena
# Marang para sarjana kang martapi
# Mring tapaking tepa tulus
# Kawawa naheb hawa
# Wruhanira mungguh sanyataning ngelmu
# Tan mesthi neng janma wredha
# Tuwin muda sudra kaki

# Sapa ntuk wahyuning Allah
# Gya dumilah mangulah ngelmu bangkit
# Bangkit mikat reh mangukut
# Kukutaning jiwangga
# Yen mangkono kena sinebut wong sepuh
# Liring sepuh sepi hawa
# Awas roroning atunggal

# Tan samar pamoring sukma
# Sinukmanya winahya ing ngasepi
# Sinimpen telenging kalbu
# Pambukaning wanara
# Tarlen saking liyep layaping ngaluyup
# Pindha sesating supena
# Sumusiping rasa jati

# Sajatine kang mangkana
# Wus kakenan nugrahaning Hyang Widhi
# Bali alaming asuwung
# Tan karem karameyan
# Ingkang sipat wisesa-winisesa wus
# Milih mula-mulanira
# Mulane wong anom sami.

# Menghindarkan diri dari angkara
# Bila akan mendidik putra
# Dikemas dalam keindahan syair
# Dihias agar tampak indah
# Agar tujuan ilmu luhur ini tercapai
# Kenyataannya, di tanah Jawa
# Agama dianut raja

# Diuraikan dalam Wedhatama
# Agar tidak mengendurkan budi daya
# Pada hal meski tua renta
# Bila tak memahami perasaan
# Sama sekali tak berguna
# Misalnya dalam pertemuan
# Canggung memalukan

# Menuruti keinginan pribadi
# Bila berbicara tanpa dipikir lebih dahulu
# Tak mau disebut bodoh
# Asal dipuji dan disanjung
# Tetapi manusia telah paham akan pertanda
# Yang ditutupi dengan kepura-puraan
# Ditampilkan dengan manis

# Si bodoh tidak menyadari
# Bicaranya semakin menjadi-jadi
# Melantur-lantur semakin jauh
# Ucapannya tidak masuk akal
# Semakin aneh dan jauh dari kenyataan
# Si pandai dan waspada mengalah
# Menutupi kekurangan si bodoh

# Begitulah ilmu yang nyata
# Sesungguhnya hanya memberi kesejukan
# Bangga dikatakan bodoh
# Senang hatinya bila dihina
# Tidak seperti si bodoh yang besar kepala
# Minta dipuji setiap hari
# Orang hidup jangan begitulah

# Hidupnya semakin rusak
# Nalarnya tidak berkembang dan compang-camping
# Seperti gua yang gelap
# Diterpa angin badai
# Menggeram, mengaung, gemuruh
# Sama siperti si muda
# Meski begitu ia tetap sombong

# Kemampuannya sangat kecil
# Geraknya bergantung kepada ayah-ibu
# Terpandang dan tingkat luhur
# Itulah orang tuanya
# Sedangkan belum mengenal
# Artinya sopan-santun
# Yang merupakan ajaran agama

# Sifat-sifat dirimu
# Tampak dalam tutur-bicara
# Tak mau mengalah, harus selalu menang
# Congkak penuh kesombongan
# Sikap seperti itu salah
# Gila kemenangan
# Itu tak baik, anakku

# Yang termasuk ilmu takhayul
# Pesona yang berasal dari hal-hal gaib
# Ibarat bedak
# Tidak meresap ke dalam tubuh
# Hanya ada berada di luar daging, anakku
# Jika tertimpa mara bahaya
# Pasti akan mengingkari

# Maka sedapat mungkin
# Usahakan berhati baik
# Mengabdilah dengan baik
# Sesuai dengan kemampuanmu
# Juga tata-cara kenegaraan
# Tata-cara berbakti
# Yang berlaku sepanjang waktu

# Bertanyalah anakku
# Kepada para pendeta yang bertirakat
# Kepada segala teladan yang baik
# Mampu menahan hawa nafsu
# Pengetahuanmu akan kenyataan ilmu
# Tidak hanya terhadap orang tua-tua
# Dan orang muda dan hina anakkku

# Barangsiapa mendapat wahyu Tuhan
# Akan cepat menguasai ilmu
# Bangkit merebut kekuasaan
# Atas kesempurnaan dirinya
# Bila demikian, ia dapat disebut orang tua
# Artinya sepi dari kemurkaan
# Memahami dwi-tunggal

# Tidak bingung kepada perpaduan sukma
# Diresapkan dan dihayati di kala sepi
# Disimpan di dalam hati
# Pembika tirai itu
# Tak lain antar sadar dan tidak
# Bagai kilasan mimpi
# Merakna rasa yang sejati

# Sesungguhnya yang demikian itu
# Telah mendapat anugerah Tuhan
# Kembali ke alam kosong
# Tak suka pada keramaian
# Yang bersifat kuasa-menguasai
# Telah memilih kembali ke asal
# Demikianlah, anak muda

eyang menggung

SULUK SUJINAH

Isi teks tentang ajaran tasawuf atau mistik, amanat teks Suluk Sujinah dituangkan dalam bentuk dialog antara tokoh Purwaduksina sebagai suami dengan tokoh utama Ken Sujinah sebagai istri. Dialog yang disampaikan menyangkut : asal mula manusia, kewajiban, tujuan dan hakikat hidup menurut agama Islam, khususnya ajaran tasawuf.Diterangkan tahap-tahap yang harus dilalui manusia dalam upaya agar bisa luluh kembali kepada Tuhan. Tokoh Purwaduksina memberikan ajaran kepada istrinya, Dewi Sujinah mengenai : Rukun Islam, Empat Kiblat, Baitullah, Asma Allah, Takbiratul Ihram dan sebagainya.Dilukiskan mengenai hakikat perkawinan, hakikat sholat, sifat Tuhan, letakNYA, macam-macam bertapa, uraian tentang tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit, tentang anugerah Tuhan, pertalian manusia dengan Tuhan dan petunjuk-petunjuk agar manusia agar manusia mematuhi ajaran utama.

Empat tahap yan harus dilalui oleh salik dalam mendekati sang Khalik, ialah :

1. Syariat 2. Tarekat 3. Hakikat 4. Makrifat

Wujud iman ada pada diri sendiri dan merupakan hakikat kehendak sejati, sedangkan tauhid adalah mata roh yang memandang terpusat kepada Allah. Makrifat adalah saat bertemunya makhluk dengan Khalik.

Ada empat watak yang tidak terpuji yang harus dijauhi yaitu :

1. Jubriya atau sombong 2. Takabur atau keras kepala 3. Kibir atau mengandalkan kekuatan 4.Sumengah atau watak tidak terpuji.

Orang yang berilmu sejati tidak akan sakit apabila dicela, dan tidak bangga jika disanjung dalam menghadapi rintangan hidup hendaknya tetap teguh. Menuntut ilmu sejati harus didasari kesucian hati, jangan menganggap dirinya merasa lebih dan jangan pula meremehkan orang lain. Janganlah menganggap orang lebih rendah dan jangan pula mencari kejelekkan atau kekurangannya. Cara untuk menghilangkan watak tidak terpuji dapat ditempuh dengan dua cara sebagai berikut :

1. Sadarlah bahwa manusia itu sama, baik tua maupun muda, tinggi rendah, maupun kaya miskin, kesemuanya adalah mahkluk Tuhan. Jika sering mencampuri urusan orang lain dan mencelanya, sama saja dengan mencela Tuhan.

2. Manusia hendaklah mencamkan sabda dalam Alquran, dengan bekal mencamkan sabda tersebut ia akan dijauhkan dari sifat takabur. Manusia pada dasarnya adalah mahkluk yang lemah, ia ibarat wayang yang digerakkan oleh dalang.

Seseorang yang hanya terhenti pada tahap Syariat diibaratkan sebagai berdagang madu atau gula, dalam mengarungi samudera kehidupan manusia pastia akan mengalami berbagai rintangan yang tidak cukup diatasi dengan banyak bicara saja tanpa disertai perbuatan amal. Pada tingkat Tarekat manusia diibaratkan mati didalam hidup dan hidup dalam kematian, ia harus bersikap rendah, tidak gemar cekcok dan menyadari bahwa setiap harinya manusia selalu harus pandai-pandai memerangi gejolak hawa nafsu yang kan menjerumuskan kepada ketersesatan. Ia harus mematuhi nilai-nilai pergaulan dalam masyarakat, mempunyai watak terpuji ( sabar, penuh pengertian, berbudi luhur, tidak cenderung mencela dan mencampuri urusan orang lain, jujur, tulus ikhlas, tidak angkuh dan tidak iri )dan bersyukur atas apa yang telah dicapai berkat rida Tuhan.

Tahapan Hakikat manusia telah mengenal jati dirinya yang dilambangkan terdiri atas tujuh lapis bumi dan tujuh lapis langit sebagai kelengkapan suatu ilmu. Manusia yang telah memahami ilmu Tuhan, tidak berpikiran sempit, tidak kerdil atau fanatik dan tidak pula takabur. Ia justru bersikap tenggang rasa dan hormat menghormati keyakinan orang lain. Orang yang telah mencapai Makrifat kalbu dan rasanya telah luluh, menyatu dengan Tuhan, ia sudah tidak sedih atau menderita akibat pasang surutnya kehidupan, jiwanya stabil, tutur kata dan tingkah laku di dunia menjadi saksi keangungan-NYA.

eyang menggung

SERAT SABDATAMA

Gambuh
1. Rasaning tyas kayungyun, Angayomi lukitaning kalbu, Gambir wanakalawan hening ing ati, Kabekta kudu pitutur, Sumingkiring reh tyas mirong

Tumbuhlah suatu keinginan melahirkan perasaan dengan hati yang hening disebabkan ingin memberikan petuah-petuah agar dapat menyingkirkan hal-hal yang salah.

2. Den samya amituhu, Ing sajroning Jaman Kala Bendu, Yogya samyanyenyuda hardaning ati, Kang anuntun mring pakewuh, Uwohing panggawe awon

Diharap semuanya maklum bahwa dijaman Kala Bendu
sebaiknya mengurangi nafsu pribadi yang akan membenturkan kepada kerepotan. Hasilnya hanyalah perbuatan yang buruk.

3.Ngajapa tyas rahayu, Nyayomana sasameng tumuwuh, Wahanane ngendhakke angkara klindhih, Ngendhangken pakarti dudu, Dinulu luwar tibeng doh

Sebaiknya senantiasa berbuat menuju kepada hal-hal yang baik. Dapat memberi perlindungan kepada siapapun juga. Perbuatan demikian akan melenyapkan angkara murka, melenyapkan perbuatan yang bukan-bukan dan terbuang jauh.

4. Beda kang ngaji mumpung, Nir waspada rubedane tutut, Kakinthilan manggon anggung atut wuri, Tyas riwut ruwet dahuru, Korup sinerung agoroh

Hal ini memang lain dengan yang ngaji pumpung. Hilang kewaspadaannya dan kerepotanlah yang selalu dijumpai, selalu mengikuti hidupnya. Hati senantiasa ruwet karena selalu berdusta.

5. Ilang budayanipun, Tanpa bayu weyane ngalumpuk, Sakciptane wardaya ambebayani, Ubayane nora payu, Kari ketaman pakewoh

Lenyap kebudayaannya. Tidak memiliki kekuatan dan ceroboh. Apa yang dipikir hanyalah hal-hal yang berbahaya. Sumpah dan janji hanyalah dibibir belaka tidak seorangpun mempercayainya. Akhirnya hanyalah kerepotan saja.

6. Rong asta wus katekuk, Kari ura-ura kang pakantuk, Dandanggula lagu palaran sayekti, Ngleluri para leluhur, Abot ing sih swami karo

Sudah tidak berdaya. Hanya tinggallah berdendang.
Mendendangkan lagu dandang gula palaran hasil karya nenek moyang dahulu kala, betapa beratnya hidup ini seperti orang dimadu saja.

7. Galak gangsuling tembung, Ki Pujangga panggupitanipun, Rangu-rangu pamanguning reh harjanti, Tinanggap prana tumambuh, Katenta nawung prihatos

Ki Pujangga didalam membuat karyanya mungkin ada kelebihan dan kekurangannya. Olah karena itu ada perasaan ragu-ragu dan khawatir, barangkali terdapat kesalahan / kekeliruan tafsir, sebab sedang prihatin.

8. Wartine para jamhur, Pamawasing warsita datan wus, Wahanane apan owah angowahi, Yeku sansaya pakewuh, Ewuh aya kang linakon

Menurut pendapat para ahli, wawasan mereka keadaan selalu berubah-ubah. Meningkatkan kerepotan apa pula yang hendak dijalankan.

9. Sidining Kala Bendu, Saya ndadra hardaning tyas limut, Nora kena sinirep limpating budi, Lamun durung mangsanipun, Malah sumuke angradon

Azabnya jaman Kala Bendu, makin menjadi-jadi nafsu angkara murka. Tidak mungkin dikalahkan oleh budi yang baik. Bila belum sampai saatnya akibatnya bahkan makin luar biasa.

10. Ing antara sapangu, Pangungaking kahanan wus mirud, Morat-marit panguripaning sesami, Sirna katentremanipun, Wong udrasa sak anggon-anggon

Sementara itu keadaan sudah semakin tidak karu-karuwan,
penghidupan semakin morat-marit, tidak ketenteraman lagi, kesedihan disana-sini.

11. Kemang isarat lebur, Bubar tanpa daya kabarubuh, Paribasan tidhem tandhaning dumadi, Begjane ula dahulu, Cangkem silite angaplok

Segala dosa dan cara hancur lebur, seolah-olah hati dikuasai ketakutan. Yang beruntung adalah ular berkepala dua, sebab kepala serta buntutnya dapat makan.

12. Ndhungkari gunung-gunung, Kang geneng-geneng padha jinugrug, Parandene tan ana kang nanggulangi, Wedi kalamun sinembur, Upase lir wedang umob

Gunung-gunung digempur, yang besar-besar dihancurkan meskipun demikian tidak ada yang berani melawan. Sebab mereka takut kalau disembur (disemprot ular) berbisa. Bisa racun ular itu bagaikan air panas.

13. Kalonganing kaluwung, Prabanira kuning abang biru, Sumurupa iku mung soroting warih, Wewarahe para Rasul, Dudu jatining Hyang Manon

Tetapi harap diketahui bahwa lengkungan pelangi yang berwarna kuning merah dan biru sebenarnya hanyalah cahaya pantulan air. Menurut ajaran Nabi itu bukanlah Tuhan yang sebenarnya.

14. Supaya pada emut, Amawasa benjang jroning tahun, Windu kuning kono ana wewe putih, Gegamane tebu wulung, Arsa angrebaseng wedhon

Agar diingat-ingat. Kelak bila sudah menginjak tahun windu kuning (Kencana) akan ada wewe putih (setan putih), yang bersenjatakan tebu hitam akan menghancurkan wedhon (pocongan setan). (Sebuah ramalan yang perlu dipecahkan).

15. Rasa wes karasuk, Kesuk lawan kala mangsanipun, Kawises kawasanira Hyang Widhi, Cahyaning wahyu tumelung, Tulus tan kena tinegor

Agaknya sudah sampai waktunya, karena kekuasaan Tuhan telah datang jaman kebaikan, tidak mungkin dihindari lagi.

16, Karkating tyas katuju, Jibar-jibur adus banyu wayu, Yuwanane turun-temurun tan enting, Liyan praja samyu sayuk, Keringan saenggon-enggon

Kehendak hati pada waktu tersebut hanya didasarkan kepada ketentraman sampai ke anak cucu. Negara-negara lain rukun sentosa dan dihormati dimanapun.

eyang menggung

SERAT WULANGSUNU

Karya : Paku Buwono IV
Pupuh I

a. Wulang sunu kang kinarya gendhing, kang pinurwa tataning ngawula, suwita ing wong tuwane, poma padha mituhu, ing pitutur kang muni tulis, sapa kang tan nuruta saujareng tutur, tan urung kasurang-surang, donya ngakir tan urung manggih billahi, tembe matine nraka.

b. Mapan sira mangke anglampahi, ing pitutur kang muni ing layang, pasti becik setemahe, bekti mring rama ibu duk purwa sira udani, karya becik lan ala, saking rama ibu, duk siro tasih jajabang, ibu iro kalangkung lara prihatin, rumeksa maring siro.

c. Nora eco dahar lawan ghuling, ibu niro rumekso ing siro, dahar sekul uyah bae, tan ketang wejah luntur, nyakot bathok dipunlampahi, saben ri mring bengawan, pilis singgul kalampahan, ibu niri rumekso duk siro alit, mulane den rumongso.

d. Dhaharira mangke pahit getir, ibu niro rumekso ing sira, nora ketang turu samben, tan ketang komah uyuh gupak tinjo dipun lampahi, lamun sira wawratana, tinatur pinangku, cinowekan ibu nira, dipun dusi esok sore nganti resik, lamun luwe dinulang

e. Duk sira ngumur sangang waresi, pasti siro yen bisa rumangkang, ibumu momong karsane, tan ketang gombal tepung, rumeksane duk sira alit, yen sira kirang pangan nora ketang nubruk, mengko sira wus diwasa, nora ana pamalesira, ngabekti tuhu sira niaya.

f. Lamun sira mangke anglampahi, nganiaya ing wong tuwanira, ingukum dening Hyang Manon, tembe yen lamun lampus, datan wurung pulang lan geni, yen wong durakeng rena, sanget siksanipun, mulane wewekas ingwang, aja wani dhateng ibu rama kaki, prentahe lakonano.

g. Parandene mangke sira iki, yen den wulang dhateng ibu rama, sok balawanan ucape, sumahir bali mungkur, iya iku cegahen kaki, tan becik temahira, donya keratipun, tan wurung kasurang-kasurang, tembe mati sinatru dening Hyang widhi, siniksa ing Malekat.

h. Yen wong anom ingkang anastiti, tan mangkana ing pamang gihira, den wulang ibu ramane, asilo anem ayun, wong tuwane kinaryo Gusti, lungo teko anembah iku budi luhung, serta bekti ing sukma, hiyo iku kang karyo pati lan urip, miwah sandhang lan pangan.

i. Kang wus kaprah nonoman samangke, anggulang polah, malang sumirang, ngisisaken ing wisese, andadar polah dlurung, mutingkrang polah mutingkring, matengkus polah tingkrak, kantara raganipun, lampahe same lelewa, yen gununggungsarirane anjenthit, ngorekken wong kathah.

j. Poma aja na nglakoni, ing sabarang polah ingkang salah tan wurung weleh polahe, kasuluh solahipun, tan kuwama solah kang silip, semune ingeseman ing sasaminipun, mulaneta awakingwang, poma aja na polah kang silip, samya brongta ing lampah.

k. Lawan malih wekas ingsun kaki, kalamun sira andarbe karsa, aja sira tinggal bote, murwaten lan ragamu, lamun derajatiro alit, aja ambek kuwawa, lamun siro luhur, den prawira anggepiro, dipun sabar jatmiko alus ing budi, iku lampah utama.

l. Pramilane nonoman puniki, dan teberi jagong lan wong tuwa, ingkang becik pituture, tan sira temahipun, apan bathin kalawan lahir, lahire tatakromo, bathine bekti mring tuhu, mula eta wekasing wong, sakathahe anak putu buyut mami, den samya brongta lampah.
Terjemahannya:

Pupuh I

a. Wulang sunu yang dibuat lagu, yang dimulai dengan tata cara berbakti, bergaul bersama orang tuanya, agar semuanya memperhatikan, petunjuk yang tertulis, siapa yang tidak mau menurut, pada petunjuk yang tertulis, niscaya akan tersia-sia, niscaya dunia akherat akan mendapat malapetaka, sesudah mati di neraka.

b. Bila nanti kamu melaksanakan petunjuk yang tertuang dalam serat pasti baik pada akhirnya berbakti kepada ibu bapak, ketika pertama kali diperlihatkan akan perbuatan baik dan buruk dari ibu bapak ketika kamu masih bayi, ibumu lebih sakit dan menderita memelihara kamu.

c. Tidak enak makan dan tidur, ibumu memelihara kamu walau hanya makan nasi garam walaupun hanya untuk membasahi kerongkongan , makan kelapa pun dilakukannya setiap hari mandi dan mencuci di sungai dengan langkah terseok-seok ibumu memelihara kamu ketika kecil untuk itu rasakanlah hal itu.

d. Keadaan pahit getir ibumu memelihara kamu dia tidur hanya sambilan meskipun penuh dengan air seni terkena tinja dilakukannya bila kamu buang air besar ditatur dan dipangku, dibersihkan oleh ibumu dimandikan setiap pagi dan sore sampai bersih, bila kamu lapar disuapi.

e. Ketika kamu berumur sembilan bulan, pada saat kamu bisa merangkak pekerjaan ibumu hanya menjagamu walau hanya memakai kain sambungan, memeliharamu ketika kamu masih kecil, bila kamu kurang makan, dicarikan sampai dapat, nanti kalau kamu sudah dewasa, tidak bisa pembalasanmu kecuali berbuat baik dan berbakti kepadanya.

f. Bila kamu nanti berbuat aniyaya terhadap orang tuamu, dihukum oleh Tuhan Yang Maha Mengetahui, besok kalau mati niscaya akan kembali bersama api, kalau orang senang durhaka, siksanya sangat berat, maka aku berpesan jangan berani ibu bapak anakku, lakukan perintah keduanya.

g. Adapun kamu nanti, bila dididik ibu bapak ucapanmu sering berlawanan menyahut lalu berpaling, cegahlah itu anakku, tidak baik pada akhirnya, dunia akherat akan sia-sia, besok kalau mati dimusuhi Tuhan, disiksa oleh Malaikat.

h. Sedangkan anak muda yang baik, pendapatnya tidak begitu dididik ibi bapaknya, duduk bersila dihadapannya, orang tuanya bagaikan Tuhan, pergi pulang bersujud, itu adalah budi yang luhur serta berbakti kepada Tuhan Yang Maha Hidup yaitu yang menciptakan mati dan hidup serta pemberi sandang dan pangan.

i. Yang sudah kaprah bagi anak muda, bertingkah malang melintang memanjakan diri, bertingkah yang keterlaluan duduk seenaknya dan tak tahu kesopanan, berlaku congkak, senang memperlihatkan badannya, kelakuannya tidak terarah, bila badannya tersentuh menjingkat dan selalu membuat onar orang banyak.

j. Ingat-ingat jangan ada yang melakukan, segala tingkah yang salah, tingkahnya pasti akan terkuak (diketahui orang banyak), ia akan tersuluh dan tidak kuat menyandangnya, seolah-olah semua orang hanya melempar senyum, untuk itu anakku, ingatlah jangan ada yang berbuat salah agar hidupmu tidak mengalami kesusahan.

k. Ada lagi nasehatku anakku, bila kamu mempunyai kehendak jangan sampai memberatkan diri, jagalah badanmu, bila derajatmu kecil, jangan merasa pesimis, bila kamu menjadi orang luhur, tegakkanlah pendapatmu, bersabar dengan kehalusan, budi, itulah perbuatan yang utama.

l. Maka dari itu kaum muda sekarang bersabarlah, bergaul dengan orang tua, perhatikanlah petunjuknya yang baik, dari lahir sampai batin, lahir dengan tatakrama, batinnya dengan berbakti kepadanya, itulah nasehatku semua anak cucu cicitku, agar hidupmu tidak mengalami kesusahan

di posting oleh:

eyang menggung

GATHOLOCO

Gatholoco, suluk karya sastra Jawa klasik, berbahasa Jawa baru, berbentuk puisi tembang macapat, bernafaskan Islam dan berisi ajaran tasawuf atau mistik. Waktu penulisan pada hari senin. Pahing tanggal, 8 Jumadilawal 1962 Jawa. Isi teks menceritakan perbincangan atau perdebatan antara Gatholoco dengan Dewi Perjiwati mengenai hakikat pria-wanita, perilaku dalam asmaragama dan asal terjadinya benih manusia.

Tokoh Gatholoco digambarkan sebagai seorang anak raja Suksmawisesa dari kerajaan Jajarginawe yang berparas jelek sekali. Ia mempunyai seorang hamba yang sangat setia, bernama Darmagandhul yang tidak kalah jeleknya dari dirinya. Gatholoco disuruh bertapa oleh ayahnya agar ia menjadi orang yang sangat pandai berdebat, pandai tulis-menulis, dan pandai berhitung tanpa guru. Kelak ia akan mendapat lawan tangguh dalam berdebat mengenai kawruh kasunyatan “ Ilmu Sejati “ yang bernama Dewi Perjiwati.

Diceritakan tentang tiga orang guru mengaji, yaitu Abduljabar, Abdulmanab, Abdulgharib. Ketiganya amat fasih dalam membaca Al Quran, Fikih dan Nahwu. Mereka berjumpa dengan Gatholoco dalam perjalanan sewaktu mencari lawan berdebat tentang ilmu yang dikuasinya. Terjadilah perdebatan antara ketiga guru mengaji tersebut dengan Gatholoco. Perdebatan meliputi tentang arti orang yang memiliki ilmu, haram, atau najis dan arti halal. Gatholoco memenangkan perdebatan dan akhirnya mengajak mereka berteka-teki.

Teka-teki Gatholoco mengenai : wayang, dalang, blencong, dan kelir. Dari keempat itu manakah yang lebih tua ? perdebatan dimenangkan oleh Gatholoco. Ia menerangkan juga tentang hakikat : wayang, dalang, kelir, blencong dan gamelan. Ketiga guru mengaji itu akhirnya meninggalkan Gatholoco dan menuju Cepekan. Di Cepekan terdapat tiga orang guru mengaji, yaitu : Kasan Mustahal, Kasan Besari, dan Ki Duljalal. Mereka ini didatangi oleh ketiga ketiga orang guru mengaji yang kalah berdebat dengan Gatholoco. Mereka menceritakan tentang kekalahan dalam perdebatan. Gatholoco dicari dan diajaknya ke Pondok Cepekan untuk diajak berdebat tentang ilmu sejati. Perdebatan antara Gatholoco dengan ketiga orang guru mengaji di Pondok Cepekan berlanjut. Akhirnya dimenangkan oleh Gatholoco, karena mereka kalah, maka diusirlah Gatholoco dari pondok tersebut. Pada mulanya Gatholoco tidak mau pergi kalau tidak diberi uang. Akhirnya, ia meninggalkan pondok tersebut untuk melanjutkan pengembaraannya.

Perjalanan Gatholoco sampai di gunung Endragiri dan bertemu dengan seorang pertapa yang bernama Dewi Perjiwati yang di dampingi oleh para emban dan cantriknya. Sebelum bertemu dengan Dewi Perjiwati terpaksa harus menghadapi para emban dan cantriknya yang mendampinginya. Para emban dan cantrik tersebut memberikan teka-teki untuk dijawab oleh Gatholoco. Ternyata teka-teki yang diberikan dapat dijawab oleh Gatholoco dengan baik, kemudian Gatholoco dapat bertemu dengan Dewi Perjiwati, maka terjadilah tanya jawab. Pertanyaan yang diajukan oleh Dewi Perjiwati adalah tentang arti kalimah Sahadat, arti pria-wanita dan suaimi istri. Apabila Gatholoco dapat menebak dengan betul maka sebagai imbalannya adalah Dewi Perjiwati bersedia menjadi istrinya. Ternyata Gatholoco dapat memenangkan perdebatan tersebut sehingga Dewi Perjiwati terpaksa mau menjadi istri Gatholoco walaupun dengan berat hati. Para emban dan cantrik memberikan saran agar Gatholoco diajaknya masuk ke gua, setelah sampai di dalamnya maka pintu gua segera ditutup.

Darmagandhul, hamba setia Gatholoco memperingatkan tetapi tidak dihiraukan , ia mengalami pingsan di dalam gua. Setelah sampai diluar ia baru sadar bahwa telah terjebak oleh tipu Dewi Perjiwati. Karena merasa terjebak, maka Gatholoco merasa malu, akhirnya ia masuk kembali ingin berperang dengan Dewi Perjiwati. Keduanya ternyara sama-sama sakti dan tidak ada yang menyerah. Tidak lama kemudian lahirlah seorang bayi dari rahim Dewi Perjiwati, baik Dewi Perjiwati maupun Gatholoco sangat sayang melihat anak tersebut. Ia bertanya kepada Dewi Perjiwati, sebetulnya anak siapakah bayi itu ? dijawabnya. Ia adalah anak dari Gatholoco sendiri. Anak tersebut kelak diberi ajaran tentang rukun Islam.

di posting oleh:

eyang menggung