Jumat, 15 Agustus 2008

ASAL USUL

eyang menggung

"Agama Ageming Aji"

ORANG Jawa, yang sudah memperoleh pencerahan agama, memandang hidup sebagai proyek pembangunan moral, dan karena itu moral menjadi lebih dari semua yang bersifat meteriil dan duniawi. Filsafat asal kejadian manusia dipahami secara sederhana melalui tradisi lisan dalam tembang Dandang Gula rekaan Kanjeng Sunan Kalijaga.

Ajaran Sang wali yang memandang hidup cuma ibarat orang pergi ke pasar yang akhirnya tentu "bakal mantuk neng wismane sangkane uni", akan kembali ke rumah asalnya, telah teradopsi secara kultural menjadi moralitas Jawa.

Tuntutan yang lebih bersifat akademis untuk menjelaskan, atau mengingat bahwa hal itu berasal dari spiritualitas Islam tampaknya tak lagi terasa penting, sebab yang lebih penting adalah bagaimana menginternalisasikan ajaran itu ke dalam jiwa dan mewujudkannya dalam hidup sehari-hari.

Moral agama yang meresap ke dalam budaya dan cita rasa Islam yang menjadi serba Jawa ini menggambarkan sukses gemilang dakwah Kanjeng Sunan Kalijaga untuk membikin agama bersenyawa dengan kehidupan, dan bahwa ruh agama harus mewarnai seluruh tampilan hidup kita. Ringkasnya, hidup itu agama, dan agama itu hidup.

Pangeran Mangkunegara IV yang alim, merumuskan "agama agiming aji", bahwa agama harus menjadi pegangan hidup, dihayati secara mendalam, dilakoni, dan dijadikan barometer kehidupan.

Ia bicara hakikat bahwa agama bukan jubah, bukan serban, bukan jenggot, bukan peci, bukan tabligh akbar, bukan tahlilan, bukan salawatan, bukan pula aroma hidup serba Arab, melainkan mahkota jiwa, hiasan keluhuran budi, benteng sopan santun, kelembutan, dan semangat menjunjung tinggi kemanusiaan, keadilan, dan kebenaran, agar agama memancar bukan cuma di dalam masjid atau dalam takbiran, melainkan juga dalam hidup, termasuk dalam politik, agar hidup tak pernah kehilangan keindahannya.

Hidup, juga dalam politik, membutuhkan juru dakwah setingkat Kanjeng Sunan Kalijaga tadi. Juru dakwah politik kita yang setingkat itu, mungkin Bung Karno. Ia gigih bicara nation and character building, yang juga menjadi acuan moral politik kita dulu dan sekarang, dan mungkin juga kelak, sebab meskipun sudah merdeka secara politis, jiwa kita masih budak.

"Agama ageming aji" sebagai cita-cita ideal, bagi Pangeran Mangkunegara IV merupakan syarat yang harus dimiliki para pemimpin yang kelak memimpin tanah Jawa. Bagi kita bukan cuma tanah Jawa, melainkan Indonesia. Tugas para pemimpin mengubah agar kemerdekaan politik juga diikuti kemerdekaan jiwa, ekonomi, dan sosial, dan dengan begitu kita menjadi bangsa yang gagah dan punya harga diri, dan kekuasaan di mata dunia. Kita tak boleh mengemis pada bangsa dan lembaga apa pun. Maka, megaproyek untuk menjadikan "agama ageming aji" harus terwujud. Dan, kita, insya Allah, bisa melakukannya.

"Syaratnya?"

"Kita mengader pemimpin sejati, para patriot, dan pendekar bangsa yang lebih asli, lebih tulen dari para pemimpin yang cuma ala kadarnya sekarang ini."

SECARA kultural pun gagasan "agama ageming aji" tak akan pernah mendorong kita bersikap terlalu hitam-putih. Bahkan, rumusan agamis antara "beriman" dan "kafir" pun patut dipahami secara hati-hati, sebab jarak wilayah batin antara keduanya sering terasa sangat dekat.

Orang "beriman" sering terpleset ke wilayah "kafir". Banyak orang yang tak merasa dirinya hidup dalam "kekafiran".

Politisi bohong, birokrat menyimpang, direktur memalsu dokumen, pengusaha culas, apa bahasa agamanya bila bukan kafir?

"Amankah posisi para rohaniwan dari jebakan kekafiran?"

"Tidak. Rohaniwan yang tak rendah hati dan merasa paling benar, jelas sedang berjubah kekafiran."

Kakek orang Kristen, Yahudi, dan Islam-Gusti Kanjeng Nabi Ibrahim AS-itu contoh orang beriman yang tulen.

Kemakmuran negeri Arab Saudi dan sekitarnya tak lepas dari doa sang kakek agar kelak anak cucu yang hidup di padang pasir yang tandus dan kering itu tak menjadi bangsa kesrakat dan terlunta-lunta.

Cintanya pada dunia-pada anak, Ismail-tak pernah menggeser cintanya kepada Tuhan. Terbukti, ketika turun ujian agar Ismail disembelih, kakek kita tersebut tetap istikomah dan sang anak pun dikorbankan.

Ini lebih dari sekadar menjadikan "agama ageming aji" dalam pengertian kita. Ia memang orang besar bukan cuma karena ia nabi.

Bila ia hidup pada zaman Winnetou, ia pasti ke Amerika dan meminta koboi-koboi Texas tak saling membunuh. Bila ia hidup sekarang, ia pun akan menyuruh koboi-koboi lainnya tak saling memerangi, apa lagi perang sekadar demi minyak. Lebih-lebih minyak itu milik bangsa lain yang jauh, di Timur Tengah.

Ia pun pasti akan berseru, "Wahai kamu sekalian, orang Kristen, Yahudi dan Islam, tak sadarkah kalian baku saudara satu sama lain?"

Andaikan ia hidup di Jakarta, ia pasti merelakan sebagian pabriknya, sebagian mobil mewahnya, sebagian rumah megahnya, sebagai korban. Ia pun akan bersedia membersihkan partai politiknya agar tak berlumuran darah rakyat terus-menerus.

"Agama ageming aji" di tangan kakek tua renta itu, telah membuat api musuh yang membakar tubuhnya berubah sejuk, bagaikan udara di sekitar Ka'bah, di Mekkah, tempat anak cucunya di seluruh muka Bumi sekarang menapak tilas kehangatan cintanya.*

Wassalam

eyang menggung

Tidak ada komentar: