Serat Centhini (dalam aksara Jawa: ), atau juga disebut Suluk Tambanglaras atau Suluk Tambangraras-Amongraga, merupakan salah satu karya sastra terbesar dalam kesusastraan Jawa Baru. Serat Centhini menghimpun segala macam ilmu pengetahuan dan kebudayaan Jawa, agar tak punah dan tetap lestari sepanjang waktu. Serat Centhini disampaikan dalam bentuk tembang, dan penulisannya dikelompokkan menurut jenis lagunya.
Sampul buku “Ringkasan Centini (Suluk Tambanglaras), karya R.M.A. Sumahatmaka
//
Penggubahan
Menurut keterangan R.M.A. Sumahatmaka, seorang kerabat istana Mangkunegaran, Serat Centhini digubah atas kehendak Kanjeng Gusti Pangeran Adipati Anom di Surakarta, seorang putra Kanjeng Susuhunan Pakubuwana IV, yaitu yang kemudian akan bertahta sebagai Sunan Pakubuwana V.
Sangkala Serat Centhini, yang nama lengkapnya adalah Suluk Tambangraras, berbunyi paksa suci sabda ji, atau tahun 1742 tahun Jawa atau tahun 1814 Masehi. Berarti masih dalam masa bertahtanya Sunan Pakubuwana IV, atau enam tahun menjelang dinobatkannya Sunan Pakubuwana V. Menurut catatan tentang naik tahtanya para raja, Pakubuwana IV mulai bertahta pada tahun 1741 (Jawa), sedangkan Pakubuwana V mulai bertahta pada tahun 1748 (Jawa).
Yang dijadikan sumber dari Serat Centhini adalah kitab Jatiswara, yang bersangkala jati tunggal swara raja, yang menunjukkan angka 1711 (tahun Jawa, berarti masih di zamannya Sunan Pakubuwana III). Tidak diketahui siapa yang mengarang kitab Jatiswara. Bila dianggap pengarangnya adalah R.Ng. Yasadipura I, maka akan terlihat meragukan karena terdapat banyak selisihnya dengan kitab Rama atau Cemporet.
Tujuan dan pelaku penggubahan
Atas kehendak Sunan Pakubuwana V, gubahan Suluk Tambangraras atau Centhini ini dimanfaatkan untuk menghimpun segala macam pengetahuan lahir dan batin masyarakat Jawa pada masa itu, yang termasuk di dalamnya keyakinan dan penghayatan mereka terhadap agama. Pengerjaan dipimpin langsung oleh Pangeran Adipati Anom, dan yang mendapatkan tugas membantu mengerjakannya adalah tiga orang pujangga istana, yaitu:
1. Raden Ngabehi Ranggasutrasna
2. Raden Ngabehi Yasadipura II (sebelumnya bernama Raden Ngabehi Ranggawarsita I)
3. Raden Ngabehi Sastradipura
Sebelum dilakukan penggubahan, ketiga pujangga istana mendapat tugas-tugas yang khusus untuk mengumpulkan bahan-bahan pembuatan kitab. Ranggasutrasna bertugas menjelajahi pulau Jawa bagian timur, Yasadipura II bertugas menjelajahi Jawa bagian barat, serta Sastradipura bertugas menunaikan ibadah haji dan menyempurnakan pengetahuannya tentang agama Islam.
Pengerjaan isi
R. Ng. Ranggasutrasna yang menjelajah pulau Jawa bagian timur telah kembali terlebih dahulu, karenanya ia diperintahkan untuk segera memulai mengarang. Dalam prakata dijelaskan tentang kehendak sang putra mahkota, bersangkala Paksa suci sabda ji.
Setelah Ranggasutrasna menyelesaikan jilid satu, datanglah Yasadipura II dari Jawa bagian barat dan Sastradipura (sekarang juga bernama Kyai Haji Muhammad Ilhar) dari Mekkah. Jilid dua sampai empat dikerjakan bersama-sama oleh ketiga pujangga istana. Setiap masalah yang berhubungan dengan wilayah barat Jawa, timur Jawa, atau agama Islam, dikerjakan oleh ahlinya masing-masing.
Pangeran Adipati Anom kemudian mengerjakan sendiri jilid lima sampai sepuluh. Penyebab Pangeran Adipati Anom mengerjakan sendiri keenam jilid tersebut diperkirakan karena ia kecewa bahwa pengetahuan tentang masalah senggama kurang jelas ungkapannya, sehingga pengetahuan tentang masalah tersebut dianggap tidak sempurna.
Setelah dianggap cukup, maka Pangeran Adipati Anom menyerahkan kembali pengerjaan dua jilid terakhir (jilid sebelas dan duabelas) kepada ketiga pujangga istana tadi. Demikianlah akhirnya kitab Suluk Tambangraras atau Centhini tersebut selesai dan jumlah lagu keseluruhannya menjadi 725 lagu.
Ringkasan isi
Serat Centhini disusun berdasarkan kisah perjalanan putra-putri Sunan Giri setelah dikalahkan oleh Pangeran Pekik dari Surabaya, ipar Sultan Agung dari Kerajaan Mataram. Kisah dimulai setelah tiga putra Sunan Giri berpencar meninggalkan tanah mereka untuk melakukan perkelanaan, karena kekuasaan Giri telah dihancurkan oleh Mataram. Mereka adalah Jayengresmi, Jayengraga/Jayengsari, dan seorang putri bernama Ken Rancangkapti.
Jayengresmi, dengan diikuti oleh dua santri bernama Gathak dan Gathuk, melakukan “perjalanan spiritual” ke sekitar keraton Majapahit, Blitar, Gamprang, hutan Lodhaya, Tuban, Bojonegoro, hutan Bagor, Gambirlaya, Gunung Padham, desa Dhandher, Kasanga, Sela, Gubug Merapi, Gunung Prawata, Demak, Gunung Muria, Pekalongan, Gunung Panegaran, Gunung Mandhalawangi, Tanah Pasundan, Bogor, bekas keraton Pajajaran, Gunung Salak, dan kemudian tiba di Karang.
Gunung Salak, dilihat dari Bogor
Dalam perjalanan ini, Jayengresmi mengalami “pendewasaan spiritual”, karena bertemu dengan sejumlah guru, tokoh-tokoh gaib dalam mitos Jawa kuno, dan sejumlah juru kunci makam-makam keramat di tanah Jawa. Dalam pertemuan dengan tokoh-tokoh itu, dia belajar mengenai segala macam pengetahuan dalam khazanah kebudayaan Jawa, mulai dari candi, makna suara burung gagak dan prenjak, khasiat burung pelatuk, petunjuk pembuatan kain lurik, pilihan waktu berhubungan seksual, perhitungan tanggal, hingga ke kisah Syekh Siti Jenar. Pengalaman dan peningkatan kebijaksanaannya ini membuatnya kemudian dikenal dengan sebutan Seh (Syekh) Amongraga. Dalam perjalanan tersebut, Syekh Amongraga berjumpa dengan Ni Ken Tambangraras yang menjadi istrinya, serta pembantunya Ni Centhini, yang juga turut serta mendengarkan wejangan-wejangannya.
Jayengsari dan Rancangkapti diiringi santri bernama Buras, berkelana ke Sidacerma, Pasuruan, Ranu Grati, Banyubiru, kaki Gunung Tengger, Malang, Baung, Singhasari, Sanggariti, Tumpang, Kidhal, Pasrepan, Tasari, Gunung Bromo, Ngadisari, Klakah, Kandhangan, Argopuro, Gunung Raung, Banyuwangi, Pekalongan, Gunung Perau, Dieng, sampai ke Sokayasa di kaki Gunung Bisma Banyumas.
Dalam perjalanan itu mereka berdua mendapatkan pengetahuan mengenai adat-istiadat tanah Jawa, syariat para nabi, kisah Sri Sadana, pengetahuan wudhu, shalat, pengetahuan dzat Allah, sifat dan asma-Nya (sifat dua puluh), Hadist Markum, perhitungan slametan orang meninggal, serta perwatakan Pandawa dan Kurawa.
Setelah melalui perkelanaan yang memakan waktu bertahun-tahun, akhirnya ketiga keturunan Sunan Giri tersebut dapat bertemu kembali dan berkumpul bersama para keluarga dan kawulanya, meskipun hal itu tidak berlangsung terlalu lama karena Syekh Amongraga (Jayengresmi) kemudian melanjutkan perjalanan spiritualnya menuju tingkat yang lebih tinggi lagi, yaitu berpulang dari muka bumi.
Lingkup pengaruh
Karya ini boleh dikatakan sebagai ensiklopedi mengenai “dunia dalam” masyarakat Jawa. Sebagaimana tercermin dalam bait-bait awal, serat ini ditulis memang dengan ambisi sebagai perangkum baboning pangawikan Jawi, induk pengetahuan Jawa. Serat ini meliputi beragam macam hal dalam alam pikiran masyarakat Jawa, seperti persoalan agama, kebatinan, kekebalan, dunia keris, karawitan dan tari, tata cara membangun rumah, pertanian, primbon (horoskop), makanan dan minuman, adat-istiadat, cerita-cerita kuno mengenai Tanah Jawa dan lain-lainnya.
Menurut Ulil Abshar Abdalla, terdapat resistensi terselubung dari masyarakat elitis (priyayi) keraton Jawa di suatu pihak, terhadap pendekatan Islam yang menitik-beratkan pada syariah sebagaimana yang dibawakan oleh pesantren dan Walisongo. Melihat jenis-jenis pengetahuan yang dipelajari oleh ketiga putra-putri Giri tersebut, tampak dengan jelas unsur-unsur Islam yang “ortodoks” bercampur-baur dengan mitos-mitos Tanah Jawa. Ajaran Islam mengenai sifat Allah yang dua puluh misalnya, diterima begitu saja tanpa harus membebani para penggubah ini untuk mempertentangkannya dengan mitos-mitos khazanah kebudayaan Jawa. Dua-duanya disandingkan begitu saja secara “sinkretik” seolah antara alam monoteisme-Islam dan paganisme/animisme Jawa tidak terdapat pertentangan yang merisaukan. Penolakan atau resistensi tampil dalam nada yang tidak menonjol dan sama sekali tidak mengesankan adanya “heroisme” dalam mempertahankan kebudayaan Jawa dari penetrasi luar.
Dr. Badri Yatim MA menyatakan bahwa keraton-keraton Jawa Islam yang merupakan penerus dari keraton Majapahit menghadapi tidak saja legitimasi politik, melainkan juga panggilan kultural untuk kontinuitas. Tanpa hal-hal tersebut, keraton-keraton baru itu tidak akan dapat diakui sebagai keraton pusat. Dengan demikian konsep-konsep wahyu kedaton, susuhunan, dan panatagama terus berlanjut menjadi dinamika tersendiri antara tradisi keraton yang sinkretis dan tradisi pesantren yang ortodoks.
Serat Centhini terus menerus dikutip dan dipelajari oleh masyarakat Jawa, Indonesia dan peneliti asing lainnya, sejak masa Ranggawarsita sampai dengan masa modern ini. Kepopulerannya yang terus-menerus berlanjut tersebut membuatnya telah mengalami beberapa kali penerbitan dan memiliki beberapa versi, diantaranya adalah versi keraton Mangkunegaran tersebut.
Kepustakaan
Sunan Pakubuwana VII, yang bertahta dari tahun 1757 sampai 1786, berkenan menghadiahkan Suluk Tambanglaras tersebut kepada pemerintah Belanda. Akan tetapi yang diberikan hanya mengambil dari jilid lima sampai sembilan, dengan menambah kata pengantar baru yang dikerjakan oleh R.Ng. Ranggawarsita III. Kitab tersebut bersangkala Tata resi amulang jalma, yang berarti 1775, dan dijadikan delapan jilid, diberi judul Serat Centhini, yang terdiri dari 280 lagu.
Penerbit PN Balai Pustaka pada tahun 1931 pernah pula menerbitkan ringkasan Serat Centhini, yang dibuat oleh R.M.A. Sumahatmaka, berdasarkan naskah milik Reksapustaka istana Mangkunegaran. Ringkasan tersebut telah dialihaksarakan dan diterjemahkan secara bebas dalam bentuk cerita, yang diharapkan pembuatnya dapat mudah dipahami oleh masyarakat yang lebih luas.
MANUNGGALING KAWULA LAN GUSTI
Oleh: eyang menggung
Masuk surga itu baik, tapi bukan yang terbaik.
Masuk Surga adalah sama saja menginginkan harta Tuhan.
Yang terbaik adalah Manunggaling Kawula Lan Gusti, itulah cita-cita Jawa. Kemanunggalan adalah Pusat segala-galanya, karena sudah Manunggal dengan Allah yang merupakan segala-galanya.
Dalam tahap kemanunggalan dengan Allah, peranan utama pada manusia dalam hal ini pengorbanan untuk Allah adalah Kemerdekaan Kita
Manunggal bukan berarti hilang atau lenyap
- karena Roh adalah pribadi yang bebas, cerminnya dapat dilihat dari Kemauan dengan pantulan Perasaan.
- Roh itu diciptakan abadi
Manunggal dalam beberapa hal:
1. Manunggal Karsa adalah kemauan / kehendak
2. Manunggal Karya adalah kerja / proses / aktivitas
3. Manunggal Rasa adalah Perasaan
Dalam hal yang lebih sederhana adalah kemanunggalan dapat dicapai jika kita Melaksanakan sesuai dengan panggilan kita.
Tujuan Kemanunggalan adalah
Agar kita mencapai atau menjadi jati diri yang Sejati / yang sebenarnya.
Cara untuk cepat Manunggal dengan Allah
1. Sendiko: selalu meng”Iya”kan dan setia. Tidak diikuti dengan kata “TAPI”
2. Nyuwun dawuh : Mohon perintah
Kedua sikap ini bisa kita capai kalau kita Pasrah / Sumeleh pada Allah.
Sikap yang terbaik menurut cara pandang Kristen, didalam Injil Markus 12:10 ; “Kasihlah Tuhan Allahmu dengan segenap hatimu, jiwa ragamu, akal budimu, kekuatanmu”.
Itulah Sumeleh yang benar.
Rumusan dari Kemanunggalan itu adalah Jawa itu sendiri yaitu yang berkesatuan ukuran dan keserasihan.
Dengan mengerti dan melaksanakan Jawa itu sendiri, maka akan terjadi kemanunggalan.
Didalam Gantharwa, Kemanunggalan adalah jika kita menjadi Gantharwa yang sebenarnya adalah Siap menolong orang lain yang bercita-cita untuk manunggal dengan Allah.
Secara Injil, kemanunggalan adalah : “Mencintai Allah dengan melaksanakan perintah-perintahNYA, maka Allah akan datang dan tinggal didalam kita.
papat kalima pancer merupakan sebuah wacana yang perlu terus kita gali dan kita renungkan plus bertukar fikiran dengan orang-orang tua kita yang sudah mumpuni baik dari ilmu tahid dan ilmu rasanya.
menurut petunjuknya papat kalima pancer itu pusatnya ada di PANCER (yaitu lubuk hati yang paling dalam) dan PAPAT-nya adalah unsur-unsur ilahi yang kita sendiri hak untuk mendapatkannya.
karena dengan menggunakan PAPAT itu kita bisa selalu ingat kepada Allah Subhanahu wata’ala sebagai penguasa alam semesta ini.
Papat yang pertama adalah nur-nya Allah (Nurullah=Cahaya dari Allah) bias dari asma-asma Allah dan sifat-sifat Allah, tanda dari PANCER-nya yaitu dalam segala sesuatu/ gerak gerik selalu BERSERAH DIRI kepada Allah dan pengakuan kita sebagai mahluknya merasa tiada daya secara ruhani dan tiada kekuatan secara jasmani kecuali hanya Allah yang memberikan gerah hidup dan kehidupan, dan berupaya untuk selalu meng-ibadahkan segala sesuatu untuk BERIBADAH kepada Allah memohon Ridho Allah, Rahmat Allah.
Papat yang kedua adalah NUR MUHAMMAD (cahaya syafa’at yang Allah cipta untuk Hambanya (Rasulullah) yang Allah mulyakan. setelah kita berserah diri kepada Allah lewat PANCER (lubuk hati yang paling dalam) ada sebuah kelembutan sebagai sebuah rahmat yang Allah berikan kepada mahluknya agar kita tunduk dan lemah lembut kepada Allah, selalu merasa sayang kepada apapun dan siapapun sebagaimana Rasulullah mempunyai perangai yang lembut dan berahlak mulia bagi semua mahluk.
PAPAT yang ketiga yaitu MALAIKAT sebagai kendaraan untuk membawa NURULLAH dan NUR MUHAMMAD tadi kedalam diri kita pada waktu kita berserah diri kepada Allah dan mengibadahkan segala sesuatu hanya untuk Allah dan fungsi malaikat ini untuk membantu memintakan permohonan ampun mendoakan kepada kita sebagai mahluk yang lemah, banyak berbuat dosa (karena manusia tempat salah dan lupa) dan nominal mereka tidak sedikit mendukung kita dalam beribadah kepada Allah.
PAPAT yang ke empat adalah KAROMAH yaitu berisi doa-doa dari para orang sholeh terdahulu (doa dari para Rasul-rasul, Nabi-nabi, dan para Auliya serta Sholihin yang telah mendahului kita) yang oleh allah diberikan kesempatan untuk membantu mendoakan segala hajat hidup kita dalam mengarungi kehidupan didunia sebagai bekal ibadah nanti kita setelah meninggal (akhirat).
Semoga Allah mengampuni kedua orang tua kita, keluarga kita, mengampuni kita, dan orang-orang yang mempunyai hak dan kewajiban atas kita yang seiman serta mengampuni sesepuh-sesepuh kita.
Semoga Allah memberikan Taufiq dan hidayah kepada kita dan mereka.
Semoga kita dan mereka semua dijadikan golongan dari hamba-hamba Allah yang sholeh.
ADABEBERAPA VERSI yang menginterpretasikan JIMUS KALIMOSODO..
1. ada yang menginterpretasikan 2 kalimah syahadat
2. ada yang menginterpretasikan lahirnya pancasila
3. ada yang menginterpretasikan tokoh pewayangan pandawa lima
apakah semua nya salah? tentu tidak…karena cara pandang setiap orang tidaklah sama..
hal yang terpenting adalah jangan sampai kita kehilangan ISI/makna dari Jamus Kalimosodo…
sebagai orang yang berpengertian jawa yang mendapatkan warisan dari leluhur Jawa, pengertian jamus kalimusodo secara singkat adalah:
istilah jamus kalimosodo terdapat dalam kisah pewayangan baratayudha, suatu jamus/surat yang ada tulisannnya tentang pengertian/kawruh. “barang siapa mendapat kawruh ini ia akan menjadi raja/mempunyai kekuasaan yang besar…
kitab ini dimiliki oleh prabu yudistira(samiaji) yang selalu menang dalam peperangan dan akhirnya masuk surga tanpa kematian…memiliki dalam hal ini adalah bukan saling berebut tetapi saling berebut memiliki makna..
arti Kalimasada terdiri dari beberapa bagian:
Ka= huruf/pengejaan Ka
Lima=angka 5
Sada= lidi/tulang rusuk daun kelapa yang diartikan Selalu
Jadi kelima ini haruslah utuh(selalu 5)…
Kelima unsur kalimasada teridiri dari:
1. KaDonyan(Keduniawian)
ojo ngoyo dateng dunyo yang arti singkatnya adalah jangan mengutamakan hal2 yang bersifat duniawi…kebutuhan duniawi kita kejar tapi jgn diutamakan..
2. Ka Hewanan ( sifat binatang)
ojo tumindak kaya dene hewan, cotoh:asusila. amoral, tidak beretika dll
3. KaRobanan
Ojo ngumbar hawa nafsu yang arti singkatnya jangan memelihra hawa nafsu…nafsu itu harus dikendalikan…
4. Kasetanan
Ojo tumindak sing duduk samestine yang arti singkatnya jangan bertindak yang tidak semestinya
ex: gengsi, sombong( ingin seperti Gusti), menyesatkan, berbuat licik dlll
5. KaTuhanan
artinya kosong
Gusti Allah iku tan keno kinoyo ngopo nanging ono yang artinya Gusti Allah tidak dpat diceritakan secara apapun tapi toh ada…
Gantharwa adalah salah satunya yang diberikan “pusaka” mewarisi warisan dari leluhur Jawa…
Pengertian Asli dari jamus kalimosodo diatas adalah isi murni dari pengertian sebenarnya..setiap orang boleh membungkusnya dengan bungkus apapun tetapi jangan sampai kehilangan makna aslinya…
karena pengertian diatas adalah pengertian sebenarnya dari jamus kalimusodo…
SEDULUR PAPAT KALIMA PANCER
Oleh: eyang menggung
Berbicara tentang pengertian dan konsep Sedulur Papat Kalima Pancer adalah merupakan bagian yang tidak terpisahkan dari dalam diri manusia, maka di Gantharwa sendiri juga mengajarkan hal ini. Secara lengkap tentunya tidak bisa diterangkan secara detail kata demi kata. Pada prinsipnya Manusia Jawa yang sejati (Kwalitas) atau setiap manusia mempunyai cita-cita yang utama yaitu Manunggaling Kawula Lan Gusti, walaupun kadang dalam bahasa yang berbeda. Untuk mencapai cita-citanya tersebut, manusia harus kembali ke asalnya (sebagai pribadi penciptaan awal) atau menjadi manusia seutuhnya, bagaimana manusia menuju menjadi manusia seutuhnya, manusia harus menjadi AJI SAKA. Aji Saka maknanya adalah kaweruh/kesadaran dalam menghargai secara maksimal dengan berperanan utama. (Atau menjadi Raja yang Beperanan Utama). (konsep Aji Saka akan ada materinya. Red).Untuk menjadi Aji Saka, Jawa memiliki dasar, dasar dari Jawa adalah KALIMASADA, atau dalam pewayangan dikatakan, seorang manusia tidak akan mati jika telah memengang Jamus Kalimasada, seperti cerita pewayangan adalah SAMIAJI atau YIDISTIRA, begitu sucinya diceritakan, sehingga darahnya juga putih.Maka Kalimasada banyak sekali menjadi perebutan dan untuk mengerti dan tahu tentang Kalimasada banyak sekali yang telah mencari kemana-mana, bahkan saling berebut dan terjadi perang. Bahkan jaman sekarang pun banyak yang telah salah mentafsirkan Kalimasada, bahkan cenderung ngawur. Kalimasada bisa diartikan juga sebagai Pancasilanya Jawa, karena merupakan dasar untuk semuanya. Untuk menjelaskan Kalimasada secara tepat maka jawa telah membuat penjelasan yang lebih sederhana atau dibuat semacam miniatur Kalimasada, yaitu SEDULUR PAPAT KALIMA PANCER . Atau bahasa sederhananya adalah Kalimasada mewujudkan diri yang lebih bisa dimengerti manusia menjadi Sedulur Papat Kalima Pancer. Lambang dari Sedulur Papat Kalima Pancer sendiri adalah dalam cerita Bagawa Gita, Arjuna menbawa kereta perang yang ditarik oleh 4 kuda dengan masing-masing membawa sifat warna adalah Hitam, Coklat (Merah), Biru, Putih. Keempat kuda itulah yang di sebut dengan Sedulur Papat, sedangkan Pancernya adalah Arjuna. Namun Sedulur Papat Kalima Pancer tidak hanya unsurnya demikian, masih ada satu unsur, yaitu di samping atas Arjuna adalah Krishna. Krishna inilah yang dilambangkan bahwa Roh (Pancer) kita bersifat Ilahi (Gusti Allah). Maka kalau manusia ingin mencapai cita-citanya, manusia (Pancernya adalah Roh Kita yang bersifat ilahi) harus bekerjasama dengan Sedulur Papatnya dan konsultannya manusia adalah Gusti Allah (memakai pengertian Gusti Allah). Barulah manusia bisa lengkap sampai pada cita-citanya yang sempurna. Banyak dari para pelaku mistikus ingin bisa ketemu dengan Sedulur papatnya, karena ingin sekali untuk ketemu, maka hal yang sering terjadi adalah sering terjadi suatu penyesatan oleh pihak yang memanfaatkan kelemahan dari salah megerti, dan juga kesalahan, atau hayalan dan imaginasi belaka. Adapun penjelasan dan arti dari Sedulur Papat Kilama Pancer adalah dari Sedulur yang memiliki sifat warna adalah hitam adalah melambangkan sifat KEKUATAN, coklat ibaratnya adalah seperti merah yaitu melambangkan sifat SEMANGAT, biru adalah melambangkan sifat KECERDIKAN, putih adalah melambangkan sifat KESUCIAN. Inilah merupakan sifat dan ciri manusia sejati, yaitu memiliki KEKUATAN, SEMANGAT, KECERDIKAN, SEMANGAT. Dan dikontorl oleh Roh Kita yang sejati (Pancer). Atau Sedulur Papat harus bersatu/manunggal dengan roh kita yang bersifat ilahi, baru dapat berhasil mencapai kemanunggalan dengan Gusti Allah.Sama halnya dengan Arjuna kalau tidak bisa kontrol ke 4 kuda dia akan kalah dalam perang dan bagi manusia kalau tidak bisa kontrol ke 4 sifat/saudaranya dia akan kalah, tidak akan pernah samapi pada cita-citanya. Jika sudah bisa kontrol 4 kuda, Arjuna harus senantiasa seiya sekata dengan Krishna agar selamat sampai akhir perang. Kalau manusia mau selamat, Roh yang sejatinya harus senantiasa memakai pengertian / Kaweruh Gusti Allah.Dan jika ada yang katanya bertemu dengan ke empat sedulurnya, itu merupakan perwujudan saja atau personifikasi dari keempat sifat diri manusia saja. Namun banyak yang menganggap ketemu dengan Roh atau pribadi lain diluar dirinya, yang merupakan empat saudara kita yang mengikuti selama hidup, padahal tidaklah demikian. Pengalaman saya ketemu dengan keempat sedulur adalah keempatnya seperti kita sendiri, wajahnya seperti kita masing-masing, wujud badannya lebih kecil dari badan kita, dan mereka memiliki sifat yang disebut diatas, saat-saat mereka muncul adalah saat kita memasuki meditasi dengan kita telah mengalahkan fisik yang mana kita tidak terpengaruh akan keletihan, kesakitan fisik, atau telah melewati ketahanan fisik kita sendiri. Namun sekali lagi, Sedulur Papat bukanlah Roh (Pribadi) seperti Pancer kita adalah pribadi atau Roh Sejati, mereka hanyalah perwujudan saja. Inilah sedikit bisa saya sharingkan berhubungan banyaknya pertanyaan mengenai Sedulur Papat Kalima Pancer, ini adalah pemahaman ajaran Jawa yang sangat dalam, memang kelihatan sederhana tapi kalau tidak ada tuntunan banyak yang salah kaprah. Karena telah banyak orang yang tidak mengerti ini dan banyak yang tersesatkan karena ini. Inilah sedikit bagian kecil saja mengenai Sedulur Papat Kalima Pancer.
Salam dariku
eyang menggung
Minggu, 17 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar