Minggu, 17 Agustus 2008

Membangun Jiwa, Berdasar pada Lajang Kalimosodo; Tuntunan Kesucian Kejujuran.

Kemarin saya merasa beruntung, saat bongkar-bongkar menemukan buku ejaan bahasa jawa lama berjudul Pembangunan Djiwa. Buku itu Tuntunan Ketsutjian Kedjudjuran. Kanti Dedasar Lajang Kalimosodo. Tampilan buku tersebut sangat usang, sisi bukunya sudah tidak rata (bahasa jawanya mreteli) karena dimakan kala. Kertasnya kecoklatan, mungkin dulunya putih. Sampul buku sudah disolasi plastik untuk menyatukan. Tapi sampul buku pun tetap terlepas dari bundel halaman buku karena sudah tidak rekat lagi.

Harga buku itu Rp.20,-. Terbitan M.A.Bachrun Jogyakarta 1381H/1961, tjetakan kaping sekawan (baca: cetakan keempat). Rupanya buku itu milik almarhum mbah kakung (baca: kakek) dari almarhum bapak saya. Ada tulisan tangan nama beliau di pojok atas buku halaman paling depan. Soal judul, saya pikir tetep up to date, karena membangun jiwa adalah topik yang tidak dipengaruhi oleh dimensi waktu; dulu atau kini.

Saya menceritakan buku ini karena:
Pertama, ada amanat penulis untuk menyiarkannya.“ Pramila buku punika kula aturi njiaraken dateng sederek ingkang dereng mangertos dateng kuwadjibanipun gesang wonten ing alam ndonja, supados sama remen anggenipun sami pasederekan. Tuwin temtu rugi menawi mboten kerso mangertosi isinipun buku pinuka. Amargi isi puwitjal saking ngersanipun Gusti Allah kang paring urip kang nitahaken sedaja manungsa”. Terjemahan versi saya: Silahkan buku ini di siarkan kepada saudara kita yang belum atau ingin mengerti kewajiban sesungguhnya hidup di dunia, supaya sama-sama-sama tahu dan menciptakan persaudaraan. Kita semua akan rugi jika tidak mau mengetahui isi buku ini. Karena isi buku pelajaran ini adalah perintah Allah Sang pemberi hidup untuk semua manusia.

Kedua, karena saya tertarik pada bahasannya, juga pada gambaran yang ada di luar yang tertuliskan (baca:tidak tertuliskan). Buku ini memberikan informasi secara tidak langsung kepada saya tentang kondisi ataupun gambaran umum muslim di Indonesia pada tahun buku diterbitkan. Buku ini mengingatkan saya pada masa-masa perjuangan Nabi Muhammad SAW di mekkah, masa jahiliyah (baca: gelap, kelam). Saat itu rasul berusaha menanamkan aqidah (baca:keyakinan akan kebenaran dan kekuasaanNya) lewat ke-Esa-an dengan penjelasan hukumNya. Hal itu bisa dilihat pada dominasi pilihan M.Amin BR, pada kutipan ayat-ayat al-qur’an. Ia berusaha menumbuhkan penyadaran pembaca melalui pahala dan ancaman pada hukumNya kepada siapa yang patuh atau melanggar perintah dan kewajibanNya.

Buku ini pun mengikutsertakan tata cara sholat beserta bacaanya sebagai media dalam upaya memunculkan kesadaran, kepasrahan dan doa yang bisa menyehatkan jiwa. Uniknya, peraga laki-laki tidak menggunakan peci, koko atau jubah untuk sholat, tetapi memakai blankon, baju bermotif garis (baca:sorjan) Dan kain panjang jawa (baca:jarik-batik). Sedangkan perempuannya tidak menggunakan mukena atau kain yang sempurna menutupi auratnya. Melainkan menggunakan kebaya serta kain yang hanya dilingkarkan mengikat kepala dengan telapak kaki terlihat. Ternyata, di negeri mayoritas muslim ini, pengajaran, pemahaman dan pelaksanaan dilakukan secara berangusr-angsur. Metode atau media disesuaikan dengan obyek;audien. Hingga bentukan atau hasilnya adalah upaya belajar berkompromi dengan produk budaya lokal dengan mempertimbangkan jenjang pemahaman.

Pembangunan Djiwa. Terdengar janggal judulnya ya, tapi kita maknai saja sebagai sebuah proses, sebuah usaha subyek yang dianugerahi jiwa untuk terus melakukan perubahan positif; yang menguntungkan. Pembangunan juga bisa diartikan mengadakan yang belum ada dan atau memberdayakan, meningkatkan daya guna yang ada (baca:jiwa) untuk kesejahtreraan. Sejahtera di “sini” dan di “sana”.

Namun dalam buku Pembanguna Djiwa, Tuntunan Ketsutjian Kedjudjuran. Kanti Dedasar Lajang Kalimosodo. Saya tidak mendapatkan apa itu jiwa? Hingga bisa menjadi pemiliknya suci dan jujur? =Karena itu saya dihantarkan pada Mencari Jiwanya William Barret, tapi ndak ketemu apa yang saya inginkan. Lalu mencari di Dinamika Jiwanya Sachiko Murata, baru bisa saya pahami, walaupun tidak ada definisi jelas mengenai apa jiwa itu sendiri.Jiwa sudah bisa diangankan. Menurutnya jiwa itu adalah bagian kecil alam /mikrokosmos. Ia pun merujuk pada teks-teks Sufi. Di sana membayangkan, bahwa jiwa adalah “sesuatu” yang harus dirubah dan dikembalikan sifatnya menjadi suci kembali sebagai sifat dasarnya.

Sachiko pun menggambarkan tahapan perkembangan jiwa khas sufi. Tahap paling rendah jiwa yang menguasai kejahatan (nafs al-ammarah bi’l-su), dimiliki oleh orang yang biasa memiliki kelalaian. Tahap selanjutnya, jiwa yang menyalahkah (al nafs al-lawwamah), berkaitan dengan mereka yang telah mulai berjuang di jalanNya. Mereka sudah menyadari kelemahan-kelemahan mereka dan meyalahkan diri sendiri dalam kegagalan-kegagalan untuk mematuhi petunjuk-petunjuk normatif yang ditetapkan oleh perintah petunjuk. Tahap terakhir, jiwa yang damai denganNya. (al nafs al-muthma’innah) dicapai oleh meraka yang berhasil mencapai kesempurnaan manusia;bersih suci.

Jadi menurut saya, jiwa yang merupakan dimensi kecil dari aku yang memiliki banyak dimensi-dimensi adalah tidak lain merupakan representasi diri. Merupakan produk gabungan atau hasil gotongroyong atau kerja dari segala macam dimensi atau komponen-komponen pembentuk diri. Mulai dari hati dengan munculnya damai-tentram yang merupakan kondisi rasa. Ruh ditandai dengan kata melakukan atau mendapatkan kesempurnaan. Akal ditandai dengan adanya kesadaran yang umumnya dihasilkan oleh tidakan timbang menimbang baik buruk. Akal yang beraktifitas, berpikirnya atas kesalahan-kesalahan atau petunjuk-petunjuk normatif. Sedangkan perjuangan mengambil badan sebagai tempat yang tampak atas dukungan total ragam dimensi diri itu sendiri.

Menyederhanakannya sebagai berikut:

Kita tidak akan atau akan mencuri (kerja hati : ada niat juga sesuai keyakinan/aqidah dalam hati akan benar atau tidaknya aktifitas itu). Apakah mencuri akan merugikan orang lain secara materi misalnya (kerja akal yang menimbang dan menginfentarisir kerugian yang akan diderita permilik benda). Bisa melakukan pencurian benda kerja ruh-ada nyawa. Untuk hal ini Allah pun tidak menerangkan lebih lanjut, karena persoalan roh adalah urusanNya QS.75: 85). Wujudnya: tindakan mengambil atau tidak benda/ milik orang lain (kerja raga lewat tangan). Hakekatnya, sesungguhnya, keberhasilan memutuskan untuk tidak mencuri adalah hasil perjuangan jiwa yang selalu ingat akan Dia. Kemenangan yang terus menerus bisa akan menghantarkan kesucian, karena terjaganya diri. Terjaganya diri, akan membawa ketentraman dan kedamaianNya pada diri

Bagaimana buku M.Amin BR membuat tuntunan agar manusia itu kembali suci dan jujur? Kira-kira tidak jauh dari contoh yang disederhanakan di atas.

Jadi bukan tanpa alasan mengapa buku ini menitik beratkan kepada aqidah kepada Allah. Karena keyakinan adalah pondasi sekaligus ruh dari perbuatan dan perjuangan diri;jiwa dan raga. Efeknya, akan menuntun manusia untuk terus meniti jalan lurus agar bisa kembali kepadaNya dengan ridoNya.

Selain itu, bukunya mencoba membongkar dan memberikan kesadaran kepada muslim siapa manusia sebenarnya. Bagaimana asal usul penciptaanya. Siapa saja yang menjadi musuh terberat dirinya selain dirinya sendiri. Dari mana. Siapa yang menciptakan. Harus bagaimana dalam menjalani hidup. Lalu, akan kemana selanjutnya setelah hidup di dunia.

Perlu diingat kembali, pembongkaran kesadaran yang dilakukan penulis buku ini tidak pernah lepas dari janji dan ancamanNya. Saya rasa penulis sangat mempertimbangkan kondisi di tahun 1961, terutama pada pengetahuan umat Islam saat itu, yang mungkin mamang harus begitu sebagai tahap awal (meyerupai Allah menurunkan jenis wahyu-kalamNya yang berbeda antara di makkah dan madinah).

Oleh sebab itu, agar diterima lebih mudah oleh pembaca, buku ini mencantumkan seolah-olah sebagai dasar (yang isinya memang berdasar pada kalamNya). Salah satu ajaran Lajang Kalimasada tercermin pada Dhandang gula (tembang :lagu ;syair bernuansa jiwa tenang dengan kejernihan wejangan Islami karya sastra besar islam Walisanga). Isi dari dhandang gula itu menggambarkan kehidupan didunia, juga keharusan memiliki kesadaran akan penciptaan, tujuan, tempat kembali manusia dikemudian hari.

Jika ingin tahu lebih tentang macam syair yang merupakan karya sastra besar Islam kesembilan wali, bisa membaca Nancy K.Florida pada Menyurat yang Silam Menggurat yang Menjelang, penerbit Bentang. *Saya juga belum tuntas membacanya, heee…*

Wassalam

eyang menggung

_______________________________

Up date : Penilaian yang saya berikan ini sangat mungkin sekali mendekati kesubyektifan dan belum tentu sama dengan penilaian pembaca lainnya. Itu terjadi karena stimulus atau obyek yang sama dalam hal ini buku yang dibaca itu belum tentu memiliki sensasi yang sama antara saya dan pembaca lainnya. Bagus tidaknya, menarik tidaknya juga sangat dipengaruhi oleh selera pembaca.

Salam dari kami

eyang menggung

Tidak ada komentar: