Minggu, 17 Agustus 2008

Siapakah RONGGO ‘Kemunduran Moral’ versi Ronggo Warsito

Penggalan bait Serat Kolotidho:

amenangi jaman édan,
éwuhaya ing pambudi,
mélu ngédan nora tahan,
yén tan mélu anglakoni,
boya keduman mélik,
kaliren wekasanipun.
Ndilalah kersaning Gusti,
begja-begjaning kang lali,
luwih begja kang éling lan waspada.

Maknanya : “”Mengalami zaman serba gila, sulit rumit dalam bertindak, ikut gila tak sampai hati, jika tak ikut larut tak bakal dapat rejeki, kelaparanlah akhirnya, namun sudah takdir Allah, semujur-mujurnya yang lupa, lebih bahagia bagi yang ingat (pada Tuhan) dan tetap waspada”"
Lahir tanggal 14 maret 1802. Beliau ini keluarga sastrawan Jawa. Cucu dari Raden Ngabehi Jasadipuro II. Jadi memang darah keturunan pujangga.

Pada saat mudanya, suka sekali bepergian kemana-mana, dengan alasan mencari ilmu dan pengalaman. Bahkan sampai juga di pondok-pondok pesantren sekitarnya seperti Madiun dan Ponorogo.

Surakarta waktu itu berada di bawah Pemerintahan Sri Mangkunegoro IV yang memang meluhurkan kesenian, sehingga mereka secara tersamar bisa menyusupkan pengaruh-pengaruhnya.

Ketika itu, sudah ada beberapa petugas bahasa, pegawai pemerintahan Surakarta. Antara lain Dr. Palmer van den Broek dan CF Winter. Tetapi mereka justru lebih banyak belajar pada Ronggowarsito tentang bahasa dan sastra Jawa. Namun sebaliknya Ronggowarsito juga menimba ilmu pengetahuan lebih luas dari mereka, terutama sastra barat.

Pada saat itu sastra jawa tak bisa dilepaskan dengan gamelan. Menyadari akan hal ini, dengan gending ( lagu jawa ) Ronggowarsito berusaha mendobraknya.

Lalu mulailah ia mengarang prosa, karena baginya hasil sastra itu bisa berupa atau bentuk apa saja. Baik Puisi atau prosa. Atas prakarsa inilah lahir babak baru kesusasteraan jawa. Tentu saja saat itu masyarakat tidak begitu saja menerimanya. Namun ia sama sekali tak bergeming dari tekadnya. Ia tidak hanya menangani sastra saja, tetapi juga agama, filsafat, pendidikan, sejarah, kebatinan bahkan juga tentang ramalan-ramalan yang agak berbau mistik.

Tetapi kemudian, lambat laun, masyarakat mulai menyadari betapa pentingnya prosa bagi mereka. Bukankah lebih mudah ditangkap dan dinikmati? Selanjutnya, malah karangan-karangannya yang mengandung filsafat banyak dikagumi dan diserap rakyat.

Sebagai seorang Pujangga, ia gigih dan ulet serta kritis dalam menghadapi keadaan dan hari depan. Bahkan Serat Kolotidho ini ditulisnya setelah ia uzur. Kolotidho ditulis dalam bentuk puisi. Namun demikian, mudah ditangkap isi dan maksudnya yang intinya memberikan reaksi atas adanya kemunduran moral yang mulai terjadi saat itu.

Pada tahun 1953, buku-bukunya pernah dipamerkan di Surakarta, guna mengenang jasa dan kebesarannya. Buku yang dipamerkan saat itu hanya 40 judul saja. Bentuknyapun masih bentuk lama puisi dan prosa.

Sedangkan buku-buku Ronggowarsito antara lain; Jayabaya, Jokolodang, Kolotidho, Sabdatama, Sabdajati, Paramayoga, Nitisruti, Candrarini, Cemporet, Pustakaraja, Wirid dll.

Pada patung Ronggowarsito terdapat didepan gedung Radya Pustaka di Surakarta. Pada tugu tersebut tertulis bait-bait bukunya Kolotidho diatas. Sedangkan makamnya ada didesa Palur, Kabupaten Klaten, telah dipugar dengan baik oleh Departemen P dan K.

Bukan bermaksus narziiis tapi mudah mudahan aku dapat menjadi orang yang berguna bagi banyak orang dikenang walau jasat aku sudah tidak ada

Salam dariku

eyang menggung

Tidak ada komentar: