zamanku
Mari jadikan ZAMANKU sebagai ajang diskusi untuk menggali berbagai misteri di masa lalu, menyibak beragam peristiwa terkini, menggapai impian-impian dan memprediksi kejadian di masa depan. Anda bebas mengupas berbagai topik yang berkaitan dengan sejarah, agama, iptek, politik dan isu hangat lainnya.
19.1.06
Kontroversi Serat Darmo Gandhul: Betulkah Ki Kalam Wadi adalah Ronggo Warsito?
Kontroversi Serat Darmo Gandhul: Betulkah Ki Kalam Wadi adalah Ronggo Warsito?
Masuknya Islam ke Tanah Jawa ternyata menyimpan cerita yang sungguh
luar biasa. Salah satunya terekam dalam Serat Darmo Gandhul yang
kontroversial itu. Dalam serat yang aslinya berbahasa Jawa Kuno itu
dipaparkan perjalanan beberapa wali, juga hambatan dan benturan
dengan budaya dan kepercayaan lokal.
Penulis serat ini tak menunjukkan jati diri aslinya. Ada yang menafsirkan,
pengarangnya adalah Ronggo Warsito. Ia pakai nama samaran Ki Kalam Wadi,
yang berarti rahasia atau kabar yang dirahasiakan. Ditulis dalam bentuk
prosa dengan pengkisahan yang menarik. Isi Darmo Gandhul tentu saja
mengagetkan kita yang selama ini mengira bahwa masuknya agama Islam
di Indonesia dilakukan dengan cara damai tanpa muncratan darah, terpenggalnya
kepala dan tetesan air mata. Kaburnya para pemeluk Hindu dan Budha ke berbagai
wilayah, misalnya ke Pulau Bali, ke kawasan pegunungan dan hutan rimba,
adalah salah satu pertanda bahwa mereka menghindari tindakan pembantaian
massal oleh sekelompok orang yang ingin menggulingkan kekuasaan berkedokkan
agama.
Terkait dengan kisah Wali Songo yang menyebarkan agama Islam di Pulau
Jawa, kebetulan saya ada terjemahan Serat Darmo Gandhul yang aslinya
berbahasa Jawa Kuno. Yang saya kirimkan berikut ini adalah versi yang
tidak lengkap, bersumber dari Tabloid Posmo terbitan Surabaya. Anda bisa
baca dan menilai sendiri. Hanya agar lebih enak untuk dibaca, Posmo
menyuntingnya disana-sini. Yang perlu dicatat, pembaca sendiri harus
kritis menyikapi isi cerita yang mungin amat tendensius ini.
Serat Darmo Gandhul pernah diterbitkan oleh Dahara Prize - Semarang
berukuran 15 cm x 15 cm. Berikut ini adalah tulisan tentang Serat
Darmo Gandhul yang dimuat berseri di Tabloid Posmo terbitan Surabaya.
Isi dari serat ini rasanya masih relevan dikaitkan dengan zaman sekarang,
dimana mulai bermunculan kelompok fundamentalis Islam, terorisme yang
mengatas namakan agama, dan juga kelompok-kelompok yang bermimpi untuk
mendirikan kekhalifahan Islam di negeri ini, dan juga di negara-negara
Asia Tenggara lainnya.
Selamat membaca!
Tokoh terkait:
- Darmo Gandhul - murid Ki Kalam Wadi
- Ki Kalam Wadi - penulis serat
- Raden Budi - guru Ki Kalam Wadi
- Prabu Brawijaya - Raja Majalengka (Majapahit)
- Putri Campa (Dwarawati? Dara Petak?) - permaisuri Prabu Brawijaya
- Sayid Rahmad - kemenakan Putri Campa (Sunan Ampel)
- Sayid Kramat - Sunang Bonang
- Raden Patah (Babah) - putra Prabu Brawijaya/Adipati Demak/Senapati Jimbuningrat/
Sultan Syah Alam Akbar Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak/Sultan Adi Surya Alam di Bintoro.
- Raden Kusen (Raden Husen/Raden Arya Pecattanda) - saudara kandung Raden Patah (lain ayah)
- Ki Bandar - sahabat Sunan Bonang
- Bandung Bondowoso
- Nyai Plencing - dedemit
- Buta Locaya - raja dedemit (mantan Patih Sri Jayabaya)
- Ni Mas Ratu Pagedongan (Ni Mas Ratu Angin-Angin)
- Kyai Tunggul Wulung
- Kyai Patih
- Syech Siti Jenar
- Tumenggung Kertosono
- Sunan Giri
- Arya Damar - Bupati Palembang
- Patih Mangkurat
- Setyasena - komandan pasukan Cina Islam
- Bupati Pati
- Adipati Pengging
- Adipati Pranaraga
- Sabdo Palon
- Naya Genggong
________________________________________________________________
SERAT DARMO GANDHUL
____________________________________________________________________
Pertemuan Sunan Bonang dengan Raja Jin
Pada suatu hari, Darmo Gandhul bertanya kepada Ki Kalam Wadi tentang
asal mula orang Jawa meninggalkan agama Budha dan berganti agama Islam.
Lantas, Ki Kalamwadi pun menjawab, "Aku tidak mengerti. Tetapi
guru yang dapat dipercaya menceritakan asal-usul orang Jawa meninggalkan
agama Budha dan berganti memeluk agama Islam. Ini memang perlu dikatakan,
agar orang yang belum tahu menjadi tahu."
Putri Campa
Pada zaman dulu Majapahit bernama Majalengka. Majapahit hanyalah kiasan.
Bagi yang belum tahu ceritanya, Majapahit dianggap sebagai nama kerajaan.
Prabu Brawijaya adalah raja terakhir yang berkuasa. Ia menikah dengan
Putri Campa yang beragama Islam. Putri inilah yang membuat Brawijaya
tertarik Islam. Ketika sedang beradu asmara, sang putri selalu membeberkan
keutamaan agama itu. Setiap dekat sang prabu, tiada kata lain yang
terucap dari Putri Campa kecuali kemuliaan agama Islam.
Tak lama kemudian datanglah kemenakan Putri Campa bernama Sayid Rahmad.
Ia mohon izin menyebarkan ajaran Islam di Majalengka. Sang Prabu
mengabulkan. Sayid Rahmad tinggal di desa Ngampeldento-Surabaya. Banyak
ulama dari seberang datang ke Majalengka. Mereka menghadap sang prabu
mohon izin tinggal di wilayah pesisir. Permohonan itu dikabulkan. Akhirnya
berkembang dan banyak orang Jawa memeluk agama Islam.
Perkembangan itu menempatkan seorang guru agama Islam tinggal di daerah
Bonang, termasuk wilayah Tuban. Sayid Kramat namanya. Ia maulana Arab
yang mengaku masih keturunan Nabi Muhammad. Orang-orang Jawa banyak
yang tertarik kepadanya. Penduduk Jawa yang tinggal di pesisir Barat
sampai Timur meninggalkan agama Budha dan memeluk agama Islam. Di
wilayah Blambangan sampai ke arah Barat menuju Banten pun banyak yang
mengikuti ajaran Islam.
Agama Buddha telah mengakar di tanah Jawa lebih 1.000 tahun. Menyembah
kepada Budi Hawa. Budi adalah Dzat Tuhan, sedangkan hawa adalah minat
hati. Manusia tidak dapat berbuat apa-apa. Ia hanya dapat melaksanakan,
sedang yang menggerakkan semua ialah budi.
Raden Patah
Sang Prabu mempunyai seorang putra bernama Raden Patah. Ia lahir di
Palembang dari rahim seorang Putri Cina. Ketika Raden Patah dewasa, ia
menghadap kepada ayahnya bersama saudara lain ayah tetapi masih
sekandung, bernama Raden Kusen (Husein). Sang Prabu bingung memberi
nama putranya. Diberi nama dari jalur ayah, beragama Budha, keturunan
raja yang lahir di pegunungan. Dari jalur ibu disebut Kaotiang.
Sedangkan menurut orang Arab, ia harusnya dinamakan Sayid atau Sarib.
Sang Prabu memanggil patih dan abdi lain untuk dimintai pertimbangan.
Sang patih pun berpendapat, bila mengikuti leluhur kuno, putra sang Prabu itu
dinamakan Bambang. Tetapi karena ibunya orang Cina, lebih baik dinamakan
Babah, yang artinya lahir di tempat lain. Pendapat patih ini disetujui
abdi yang lain. Sang Prabu pun berkata kepada seluruh pasukan bahwa
putranya diberi nama Babah Patah. Sampai saat ini, keturunan pembauran
antara Cina dan Jawa disebut Babah. Meski tidak menyukai nama pemberian
ayahnya itu, Raden Patah takut untuk menentangnya.
Babah Patah kemudian diangkat menjadi Bupati di Demak. Ia memimpin para
bupati di sepanjang pantai Demak ke Barat. Ia dinikahkan dengan cucu
Kyai Ageng Ngampel. Babah Patah tinggal di desa Bintara, Demak. Babah
Patah telah beragama Islam sejak di Palembang. Di Demak ia diminta untuk
menyebarkan agama Islam. Raden Kusen diangkat menjadi Adipati di Terung,
dengan nama baru Raden Arya Pecattanda.
Ajaran Islam makin berkembang. Banyak ulama berpangkat mendapat gelar
Sunan. Sunan artinya budi, sumber pengetahuan tentang baik dan buruk.
Orang yang berbudi baik patut dimintai ajarannya tentang ilmu lahir
batin. Pada waktu itu para ulama baik budinya, belum memiliki kehendak
yang jelek. Banyak yang mengurangi makan dan tidur. Sang Prabu Brawijaya
berpikir, para ulama bersarak Budha itu mengapa disebut Sunan? Mengapa
juga masih mengurangi makan dan tidur?
Sunan Bonang
Pada waktu itu Sunan Bonang akan pergi ke Kediri, diantar dua sahabatnya.
Di utara Kediri, yakni di daerah Kertosono, rombongan terhalang air
sungai Brantas yang meluap. Sunan Bonang dan dua sahabatnya menyeberang.
Tiba di timur sungai, Sunan Bonang menyelidiki agama penduduk setempat.
Sudah Islam atau masih beragama Budha. Ternyata, kata Ki Bandar,
masyarakat daerah itu beragama Kalang, memuliakan Bandung Bondowoso.
Menganggap Bandung Bondowoso sebagai nabi mereka. Hari Jumat Wage wuku
wuye adalah hari raya mereka. Setiap hari itu, mereka bersama-sama
makan enak dan bergembira ria. Kata Sunan Bonang, "Kalau begitu, orang
disini semua beragama Gedhah. Artinya, tidak hitam, putih pun tidak.
Untuk itu tempat ini kusebut Kota Gedhah.¨ Sejak itu, daerah di
sebelah utara Kediri ini bernama Kota Gedhah.
Perawan Tua
Hari terik. Waktu sholat dhuhur tiba. Sunan Bonang ingin mengambil air
wudlu. Namun karena sungai banjir dan airnya keruh, maka Sunan Bonang
meminta salah satu sahabatnya untuk mencari air simpanan penduduk. Salah
satu sahabatnya pergi ke desa untuk mencari air yang dimaksud. Sesampai
di desa Patuk ada sebuah rumah. Tak terlihat laki-laki di sini. Hanya ada
seorang gadis beranjak dewasa sedang menenun. "Hai gadis, aku minta
air simpanan yang jernih dan bersih," kata sahabat itu.
Perawan itu terkejut. Ia menoleh. Dilihatnya seorang laki-laki. Ia salah
paham. Menyangka lelaki itu bermaksud menggodanya. Ia menjawab kasar:¡
"Kamu baru saja lewat sungai. Mengapa minta air simpanan. Disini
tidak ada orang yang menyimpan air kecuali air seniku ini sebagai
simpanan yang jernih bila kamu mau meminumnya."
Mendengar kata-kata kasar itu, sahabat itu langsung pergi tampa pamit.
Mempercepat langkah sambil mengeluh sepanjang perjalanan. Tiba di hadapan
Sunan Bonang, peristiwa tak menyenangkan itu disampaikan.
Mendengar penuturan itu Sunan Bonang naik pitam. Keluarlah kata-kata
keras. Sunan menyabda tempat itu akan sulit air. Gadis-gadisnya tidak akan mendapat jodoh sebelum usianya tua. Begitu juga dengan kaum jejakanya. Tidak akan kawin sebelum menjadi jejaka tua. Terkena ucapan Sunan Bonang, aliran
sungai Brantas menyusut. Aliran sungai berbelok arah. Membanjiri desa-desa,
hutan, sawah, dan kebun. Prahara datang diterjang arus sungai yang
menyimpang. Dan setelah itu kering seketika. Sampai kini daerah Gedhah
sulit air. Perempuan-perempuannya menjadi perawan tua. Begitu juga kaum
laki-lakinya. Mereka terlambat berumah tangga.
Demit
Kemudian, Sunan Bonang melanjutkan perjalanannya ke Kediri. Di daerah
ini ada demit (mahluk halus) bernama Nyai Plencing. Menempati sumur
Tanjungtani yang sedang dikerumuni anak cucunya. Mereka lapor, bahwa
ada orang bernama Sunan Bonang suka mengganggu kaum mahluk halus
dan menonjolkan kesaktian. Anak cucu Nyai Plencing mengajak Nyai Plencing
membalas Sunan Bonang. Caranya dengan meneluh dan menyiksanya sampai
mati agar tidak suka mengganggu lagi.
Mendengar usul itu Nyai Plencing langsung menyiapkan pasukan, dan
berangkat menemui Sunan Bonang. Tetapi anehnya, para setan itu tidak
bisa mendekati Sunan Bonang. Badannya terasa panas seperti dibakar.
Setan-setan itu berhamburan. Lari tunggang langgang. Mereka lapor ke
Kediri menemui rajanya.
Raja mereka bernama Buta Locaya, tinggal di Selabale, di kaki Gunung
Wilis. Buto Locaya semula adalah patih raja Sri Jayabaya, bernama Kyai
Daha. Ia dikenal sebagai cikal bakal Kediri. Ketika Raja Jayabaya
memerintah daerah ini, namanya diminta untuk nama negara. Ia diberi nama
Buta Locaya dan diangkat patih Prabu Jayabaya. Buta sendiri artinya
bodoh. Lo bermakna kamu. Dan Caya dapat dipercaya. Bila disambung, maka
Buta Locaya mempunyai makna orang bodoh yang dapat dipercaya.
Sebutan itu hampir menyerupai sebutan kyai, yang bermula dari Kyai Daha
dan Kyai Daka. Kyai artinya melaksanakan tugas anak cucu dan orang di
sekitarnya. Kisah soal kyai ini bermula saat Sang Raja ke rumah
Kyai Daka. Sang Prabu dijamu Kyai Daka. Sang Prabu suka dengan keramahan
itu. Nama Kyai Daka pun diminta untuk desa yang kemudian berganti
Tunggul Wulung. Seterusnya ia diangkat menjadi panglima perang.
Ketika Prabu Jayabaya muksa (mati bersama raganya hilang) bersama Ni
Mas Ratu Pagedongan, Buta Locaya dan Kyai Tunggulwulung juga ikut muksa.
Ni Mas kemudian menjadi ratu setan di Jawa. Tinggal di Laut Selatan dan
bergelar Ni Mas Ratu Angin-Angin.
Semua mahluk halus yang ada di Laut Selatan tunduk dan berbakti kepada
Ni Mas Ratu Angin-Angin. Buta Locaya menempati Selabale, sedangkan Kyai
Tunggul Wulung tinggal di Gunung Kelud menjaga kawah dan lahar agar
tidak merusak desa sekitar.
Ketika Nyai Plencing datang, Buta Locaya sedang duduk di kursi emas
beralas kasur babut dihias bulu merak. Ia sedang ditemani patihnya,
Mega Mendung dan dua anaknya, Panji Sekti Diguna dan Panji Sari Laut.
Ia amat terkejut melihat Nyai Plencing yang datang sambil menangis. Ia
melaporkan kerusakan-kerusakan di daerah utara Kediri yang disebabkan
ulah orang dari Tuban bernama Sunan Bonang. Nyai Plencing juga memaparkan
kesedihan para setan dan penduduk daerah itu.
Mendengar laporan Nyai Plencing, Buta Locaya murka. Tubuhnya bagaikan
api. Ia memanggil anak cucu dan para jin untuk melawan Sunan Bonang.
Para setan dan jin itu bersiap berangkat. Lengkap dengan peralatan
perang. Mengikuti arus angin, mereka pun sampai di desa Kukum. Di tempat
ini Buta Locaya menjelma menjadi manusia, berganti nama Kyai Sumbre.
Sementara setan dan jin yang beribu-ribu jumlahnya tidak menampakkan
diri. Kyai Sumbre berdiri di bawah pohon. Menghadang perjalanan Sunan
Bonang yang datang dari utara.
Sebagai orang sakti, Sunan Bonang tahu ada raja setan dan jin sedang
menghadang perjalanannya. Tubuh Sunan yang panas menjelma bagai bara
api. Para setan dan jin yang beribu-ribu itu menjauh. Tidak tahan
menghadapi wibawa Sunan Bonang. Namun tatkala berhadapan dengan Kyai
Sumbre, Sunan Bonang juga merasakan hawa panas. Dua sahabatnya pingsan
dan demam.
Debat soal Tuhan dan kebenaran
Debat sengit antara Sunan Bonang dengan Buta Locaya makin seru. Sunan
Bonang dengan tegas menyatakan bahwa daerah tersebut dikatakan Gedah
karena tidak jelas agamanya. "Kusabdakan sulit air karena ketika
aku minta air tidak diberi. Sungai ini kupindah alirannya agar kesulitan
mendapatkan air. Sedangkan jejaka dan perawan kusabdakan sulit mendapat
jodoh karena yang kumintai air itu perawan desa."
Buta Locaya menjawab, bahwa itu tidak seimbang. Salah yang tak seberapa,
apalagi hanya dilakukan oleh seseorang, tetapi penderitaannya dirasakan
oleh banyak orang. Bila dilaporkan kepada penguasa, tentu akan mendapatkan
hukuman berat karena telah merusak sebuah daerah. Sunan Bonang menjawab,
ia pun tak takut dilaporkan Raja Majalengka.
Ketika Buta Locaya mendengar kata-kata itu, ia pun marah. Katanya
masygul: "Ucapan tuan bukan ucapan yang paham aturan negara. Itu pantas
diucapkan oleh orang yang tinggal di rumah madat, mengandalkan kesaktian.
Janganlah sombong. Mentang-mentang dikasihi tuan berkawan dengan malaikat,
lalu berbuat sekehendak hati tidak melihat kesalahan, menganiaya orang
lain tanpa sebab. Meskipun di Jawa ini akan ada orang yang lebih kuat
daripada tuan, tapi mereka baik budi dan takut kepada laknat dewa. Tuan
akan dijauhi orang-orang baik budi bila tetap berbuat demikian. Apakah
tuan termasuk orang seperti Aji Saka murid Ijajil? Aji Saka menjadi raja
di Jawa hanya tiga tahun, lalu pergi sambil membawa seluruh sumber air
di Medang. Ia Hindu. Suka membuat sulit air."
"Tuan mengaku sunan seharusnya berbudi baik, menyelamatkan orang banyak,
tetapi ternyata tidak demikian. Tuan layak seperti setan yang menampakkan
diri, tidak tahan digoda anak kecil. Lekas naik darah. Sunan apakah itu?
Jika memang sebagai Sunan manusia sesungguhnya, tentu suka berbuat
kebajikan. Tuan menyiksa orang tanpa dosa, itulah jalan celaka, tanda
bahwa tuan telah menciptakan neraka jahanam. Bila telah jadi lalu tuan
tempati sendiri, mandi di dalam air mendidih."
"Hamba ini bangsa mahluk halus, tidak berteman dengan manusia, tetapi
hamba masih memperhatikan nasib manusia. Marilah semuanya yang rusak
itu tuan kembalikan kepada keadaan semula. Sungai yang kering dan daerah
yang terlanda banjir hamba mohon untuk mengembalikan. Semua orang Jawa
yang beragama Islam akan hamba teluh supaya mati, hamba akan meminta
bantuan Kangjeng Ratu Angin-Angin di Laut Selatan."
Begitu mendengar kemarahan Buta Locaya, Sunan Bonang menyadari kesalahannya.
Ia berkata, "Buta Locaya, aku Sunan tidak diperkenankan meralat ucapanku.
Aku hanya bisa membatasi saja. Kelak, bila telah berlangsung 500
tahun, sungai ini dapat kembali seperti semula."
Mendengar jawaban itu, bertambah marahlah Buta Locaya. "Kembalikan
sekarang juga. Bila tidak, tuan akan hamba ikat."
"Sudah, jangan berbantah lagi. Aku mohon diri akan berjalan ke timur.
Buah Sambi ini kunamakan cacil karena keadaan ini seperti anak kecil
yang sedang berkelahi. Setan dan manusia saling berebut kebenaran
tentang kerusakan yang ada di daerah dan kesedihan manusia dengan
setan. Kumohonkan kepada Tuhan, buah sambi menjadi dua macam, daging
buahnya menjadi asam. Bijinya mengeluarkan minyak sebagai lambang muka
yang masam. Tempat perjumpaan ini kuberi nama Singkal di sebelah
utara dan di sini bernama Desa Sumbre. Sedangkan tempat kawan-kawanmu di selatan kuberi nama Kawanguran."
Debat soal Tuhan
Setelah berkata demikian, Sunan Bonang meloncat ke arah timur sungai.
Terkenal sampai kini di Kota Gedah ada desa yang bernama Singkal, Sumbre
dan Kawanguran. Kawanguran artinya pengetahuan, Singkal artinya susah
kemudian menemukan akal.
Buta Locaya memburu kepergian Sunan Bonang, yang menyaksikan arca kuda
yang berkepala dua di bawah pohon Trenggulun. Banyak buah trenggulun
yang berserakan. Sunan Bonang kemudian memegang parang dan kepala arca
kuda itu dipenggalnya.
Ketika Buta Locaya melihat Sunan Bonang memenggal kepala arca itu,
semakin bertambahlah kemarahannya. "Arca itu buatan sang Prabu Jayabaya
sebagai lambang tekad wanita. Kelak di zaman Nusa Srenggi, barang
siapa yang melihat arca itu, akan mengetahui tekad para wanita Jawa.
Sunan Bonang pun berkata, "Kau ini bangsa hantu. Jadi kalau berani
berdebat dengan manusia, namanya hantu yang sombong."
"Apa bedanya. Tuan Sunan, saya ratu hantu."
Sunan Bonang berkata, "Trenggulun ini kuberi nama Kentos sebagai
peringatan kelak, bahwa aku berdua debat dengan hantu yang sombong
tentang kerusakan arca."
Ki Kalam Wadi berkata: Terkenal sampai kini, buah trenggulun bernama
kentos karena ucapan Sunan Bonang. Semua itu menurut cerita guruku
bernama Raden Budi."
Sunan Bonang kemudian berjalan ke utara. Ketika menjelang salat asar,
beliau akan bersiap salat. Di luar desa ada sumur tetapi tiada timba.
Sumur itu kemudian digulingkan. Dengan begitu Sunan Bonang dapat bersuci
untuk bersalat. Terkenal sampai sekarang, sumur itu bernama sumur gumuling.
Setelah salat, Sunan melanjutkan perjalanan. Sesampai di desa Nyahen,
ada patung raksasa perempuan berada di bawah pohon dadap yang berbunga.
Sangat banyak dan berguguran di sekitarnya. Patung raksasa itu kelihatan
merah menyala, marak oleh bunga yang berjatuhan.
Melihat patung itu, Sunan Bonang keheranan. Patung itu berukuran sangat
besar. Arca itu tampak duduk ke arah barat setinggi 16 kaki. Lingkar
pinggulnya 10 kaki. Jika dipindahkan tidak akan terangkat oleh 800 orang
kecuali dengan alat. Bahu kanannya dipatahkan, dan dahinya diludahi.
Buta Locaya marah lagi. "Tuan ternyata orang jahil, patung yang masih
baik dirusak tanpa alasan. Kini menjadi jelek. Padahal patung itu karya Sang Prabu
Jayabaya. Apakah hasilnya bila tuan merusak patung itu?"
"Patung itu kurusak agar tidak disembah banyak orang, agar tidak diberi
sesaji dan diberi kemenyan. Orang yang memuja berhala itu kafir, rusak
lahir batin."
Kata Buta Locaya, "Orang Jawa kan sudah tahu bahwa itu patung dari batu
yang tidak berdaya dan berkuasa. Bukan Tuhan, maka mereka layani.
Diberi nyala kemenyan, diberi sesaji, agar para hantu tidak menempati
tanah dan kayu yang dapat menghasilkan untuk manusia. Para hantu mereka
tempatkan di patung itu, lalu tuan usir ke mana? Telah lazim setan tinggal di
gua, arca, dan makan bau-bauan harum. Bila menyantap bebauan harum, hantu
akan merasa nyaman. Lebih senang lagi bila tinggal di patung yang utuh. Di tempat sepi dan rindang atau di bawah pohon besar. Mereka menyadari bahwa alam halus
berbeda dengan alam manusia."
Sunan Bonang khilaf
"Nabi itu kan manusia kekasih Tuhan? Mendapat wahyu agar pandai. Awas
penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi. Sedangkan yang
membuat arca batu adalah Prabu Jaya Baya, kekasih Tuhan pula, mendapatkan
wahyu mulia. Dia pun pandai dan kaya ilmu. Awas penglihatannya, mengetahui hal-hal yang belum terjadi. Tuan perpedoman kitab, orang Jawa pun berpedoman petuah dari para leluhurnya. Sama-sama menghargai kabar, lebih baik menghargai
kabar dari leluhur sendiri dengan peninggalan masih bisa disaksikan."
"Pulau Jawa ini tanah suci dan mulia, dingin dan panasnya cukup. Tanah
berpasir murah air. Apa saja ditanam dapat tumbuh. Pria tampak tampan,
wanita kelihatan cantik, serba luwes tutur katanya. Bila tuan ingin
melihat pusat dunia, yang hamba duduki inilah adanya. Silakan tuan
ukur. Seandainya tidak benar, pukullah."
"Yang membuat arca itu adalah tuanku Prabu Jayabaya. Dapatkah tuan
menebak sesuatu yang belum terjadi? Sudahlah, hamba persilakan tuan
pergi dari sini. Bila menolak akan hamba panggilkan adik hamba dari
Gunung Kelud. Tuan akan kami keroyok. Dapatkah tuan menang? Lalu akan
hamba bawa ke dalam kawah Gunung Kelud, apakah tuan tidak susah? Inginkah
tuan tinggal di Batu seperti hamba? Mari ke Selabale menjadi murid
hamba."
Sunan Bonang: "Tak sudi mengikuti kata-katamu. Kau hantu brekasaan."
"Meskipun hamba hantu, tetapi hamba raja. Abadi selamanya. Tuan belum
tentu seperti hamba. Tekad tuan kotor, suka mengganggu dan menganiaya.
Tampak disini masih sering melakukan kesalahan menentang adat, menentang
agama, merusak kebaikan, mengganggu agama leluhur. Tuan dapat disiksa
dan dibuang ke Menado."
Sunan Bonang tak menggubris. Ia berkata: "Dadap ini bunganya kunamai
celung, buahnya bernama kledung, karena aku kecelung (sesat) pemikiran
dan salah bicara. Jadi saksi ketika aku berdebat dengan hantu,
kalah pengetahuan dan pemikiran.
Sampai kini buah dadap bernama kledung, bunganya bernama celung.
"Sudah, aku akan pulang ke Bonang."
"Ya sudah, silakan tuan pergi. Di sini tak ayal akan membikin panas,
bila terlalu lama di sini akan menimbulkan kesusahan, menyebabkan mahal
air, dan mengurangi air."
Prabu Brawijaya murka
Prabu Brawijaya amat murka ketika mendapat laporan sang Patih tentang
adanya surat dari Tumenggung di Kertosono, yang memberitahukan bahwa
telah terjadi kerusakan di wilayah itu akibat ulah Sunan Bonang.
Segera ia mengutus Patih ke Kertosono, meneliti keadaan sebenarnya.
Setelah tiba, Sang Patih melaporkan semua yang telah terjadi. Namun,
ia tak bisa menemukan Sunan Bonang, karena telah mengembara tak tahu
kemana.
Berikut babak lanjutan dari Serat Darmo Gandhul. Saking murkanya, Prabu
Brawijaya mengharuskan semua ulama Arab yang ada di Pulau Jawa pergi.
Hanya di Demak dan Ngampel Gading saja yang diperbolehkan tinggal dan menyebarkan agama Islam. Apabila menolak akan dibunuh. Pernyataan tersebut juga dibenarkan oleh patihnya, karena ulama Giripura telah tiga tahun tidak menghadap untuk menyampaikan upeti, bahkan mendirikan kerajaan sendiri. Sedang ulama santri Giri punya gelar yang melebihi sang Prabu. Maka, diseranglah Giri hingga kocar-kacir.
Menyadari kekeliruannya karena tidak menghadap Majalengka, Sunan Bonang
mengajak Sunan Giri ke Demak. Di sana, mereka menyatu dengan pasukan Adipati Demak dan mengajak menyerbu ke Majalengka. Kata Sunan Bonang, "Ketahuilah, kini saatnya kehancuran kerajaan Majalengka yang telah berumur 103 tahun. Menurut pertimbanganku, kamulah yang berhak menjadi Raja. Rusaklah Kraton Majalengka dengan cara halus.
Jangan sampai ketahuan. Menghadaplah ke ayahandamu pada acara Grebeg Maulud
dengan senjata perang. Ajaklah seluruh Bupati dan para Sunan beserta
bala tentaranya."
Provokasi
Adipati Demak yang memang putra Prabu Brawijaya semula tidak mau
mengikuti saran Sunan Bonang. "Saya takut merusak negeri Majalengka.
Melawan ayah, apalagi melawan seorang raja yang telah memberikan kebahagiaan
dan kebaikan di dunia. Kata Kakek saya di Ampelgading, saya tidak boleh
melawan ayahanda meski beragama Budha ataupun kafir."
Mendengan jawaban demikian, Sunan Bonang berkata, "Meskipun melawan
ayah dan raja, tidak ada jeleknya karena dia kafir. Merusak kafir tua
kamu akan masuk surga. Kakekmu itu santri yang iri, gundul dan bodoh
tak bernalar. Seberapakah pengetahuan santri Ngampel Gading? Anak kelahiran
Campa tak mungkin menyamaiku Sayid Kramat, Sunan Bonang yang dipujikan
manusia sedunia, keturunan rasul anutan semua umat Islam."
"Meski kamu dosa, toh hanya kepada satu orang. Tetapi, semua manusia
se-Jawa masuk Islam. Hal demikian, alangkah banyaknya pahala yang kau
terima. Tuhan masih cinta kepadamu. Sesungguhnya, orang tuamu itu
menyia-nyiakan dirimu. Buktinya, kamu diberi nama Babah. Babah itu
artinya tidak baik. Hidup hanya untuk mati. Benih Jawa yang dibawa
Putri Cina. Maka ibumu diberikan kepada Arya Damar, Bupati Palembang,
orang keturunan raksasa. Itu memutus cinta namanya. Ayahmu tetap berhati
tidak baik. Karena itu, balaslah dengan halus. Pokoknya jangan kelihatan."
(Dalam hati, "isaplah darahnya, kunyahlah tulangnya")
Kemudian, Sunan Giri menyambung, "Aku tidak berdosa, dicari ayahmu
didakwa mendirikan kerajaan karena aku tidak menghadap ke Majalengka.
Katanya, bila aku tertangkap akan diikat rambutku dan disuruh memandikan
anjing. Banyak orang Cina yang datang ke Jawa. Di Giri banyak yang ku-Islamkan.
Sebab, menurut Qur-an, bila mengislamkan orang kafir, kelak mendapatkan
surga."
"Kedatanganku ke sini untuk minta perlindunganmu. Aku takut kepada patih
dan ayahmu yang sangat benci kepada santri yang suka berzikir. Katanya,
sakit ayan pagi dan sore. Bila kamu tidak membela, rusaklah agama Islam
ini."
Jawab sang Adipati Demak, "Ayahanda memburu tuan itu betul. Karena tuan
Sunan mendirikan kraton. Tidak menyadari bahwa hal itu harus tunduk
perintah raja yang lebih berkuasa. Maka, sudah sewajarnya bila diburu,
dihukum mati, karena Sunan tidak menyadari makan minum di Pulau Jawa."
Namun, Sunan Bonang berkata lagi, "Jika tidak kau rebut sekarang, kau
akan rugi. Setelah ayahmu turun, tahta itu tentu bukan untukmu melainkan
diserahkan kepada Adipati Pranaraga karena dia putra paling tua.
Atau kepada menantunya, Ki Andayaningrat di Pengging."
"Kamu anak muda, tidak berhak menjadi raja. Mati melawan kafir mati
sabilillah, mati menerima surga. Sudah biasa bagi orang Islam dalam
melawan orang kafir. Aku sudah tua, ingin menyaksikan dirimu menjadi
raka, merestui kedudukanmu sebagai raja di Jawa, memimpin rakyat Jawa,
memulai agama suci, dan menghilangkan agama Budha."
Panjang lebar nasihat Sunan Bonang agar Adipati Demak bangkit amarahnya,
dan mau merusak Majalengka. Bahkan, diberi contoh kisah-kisah nabi yang
mau melawan orang tuanya karena kafir.
Tak setuju serbu Majapahit, Syech Siti Jenar dibunuh
Singkat cerita, tak lama kemudian para sunan dan bupati di pesisir utara
datang semua ke Demak. Berkumpul untuk mendirikan masjid. Kemudia sembahyang
bersama di masjid yang baru didirikan. Usai sembahyang pintu masjid
ditutup. Sunan Bonang berkata kepada semua yang hadir di situ, bahwa Bupati
Demak akan dinobatkan sebagai raja dan akan menggempur Majapahit. Bila
semua setuju akan segera dimulai.
Semua sunan dan bupati setuju. Hanya Syech Siti Jenar yang tidak. Maka,
Sunan Bonang marah dan menghukum mati Syech Siti Jenar. Yang disuruh
membunuh adalah Sunan Giri. Setelah sepakat, Adipati Demak diangkat
menjadi raja menguasai tanah Jawa bergelar Senapati Jimbuningrat dengan
patih dari atas angin bernama Patih Mangkurat.
Esok harinya, Senopati Jimbuningrat bergegas dengan perangkat senjata
perang berangkat menuju Majapahit diiringkan para sunan dan bupati.
Berjalan berarakan seperti Grebeg Maulud. Semua pasukan tak ada yang
mengetahui tujuan itu selain para tumenggung, para sunan dan para ulama.
Sunan Bonang dan Sunan Giri akhirnya tidak jadi ikut dengan alasan
telah lanjut usia. Keduanya hanya akan salat di dalam masjid dan merestui perjalanan. Bagaimana cerita di perjalanan tidak dijelaskan panjang lebar.
Terjadi peperangan
Alkisah, sepulang dari Giri sang Patih melaporkan hasil penaklukan
terhadap Giri yang dipimpin oleh orang Cina beragama Islam bernama
Setyasena. Ia membawa senjata pedang bertangkai panjang. Pasukannya
berjumlah tiga ratus yang pandai bersilat dengan kumis panjang
berkepala gundul, berpakaian serba putih seperti haji.
Dalam berperang mereka lincah seperti belalang. Sementara pasukan
Majapahit menembaki. Akibatnya, pasukan Giri tampak jatuh berjumpalitan tidak mampu menerima peluru. Senapati Setyasena menemui ajal. Pasukan Giri melarikan
diri ke hutan dan gunung. Sebagian juga berlayar dan lari ke Bonang dan terus
diburu oleh pasukan Majapahit. Sunan Giri dan Sunan Bonang yang ikut
dalam perahu itu dikira melarikan diri ke Arab dan tidak kembali ke
Majapahit. Maka Sang Prabu memerintahkan patih untuk mengutus ke Demak
lagi, memburu Sunan Giri dan Sunan Bonang karena Sunan Bonang telah
merusak tanah Kertosono. Sedangkan Sunan Giri telah memberontak, tidak
mau menghadap raja, bertekad melawan dengan perang.
Sang Patih keluar dari hadapan Raja untuk kemudian memanggil duta yang akan dikirim ke Demak. Tetapi, tiba-tiba datang utusan dari Bupati Pati menyerahkan surat (terkenal dengan Menak Tanjangpura) mengabarkan bahwa Adipati Demak Babah Patah telah menobatkan diri sebagai Raja Demak. Sedangkan yang mendorong penobatan itu adalah Sunan Bonang dan Sunan Giri. Para Bupati di Pesisir Utara dan semua kawan yang sudah masuk Islam mendukung. Raja baru itu bergelar Prabu Jimbuningrat atau Sultan Syah Alam Akbar Khalifaturrasul Amirilmukminin Tajudil Abdulhamid Khak, atau Sultan Adi Surya Alam di Bintoro.
Pasukannya berjumlah tiga puluh ribu lengkap dengan senjata perang,
terserah kepada Patih cara menghadap kepada raja. Surat dari Patih itu
bertanggal 3 Maulud tahun Jimakir 1303 masa kesembilan wuku Prabangkat.
Kyai Patih sedih sekali, menggeram sambil mengatupkan giginya. Sangat
heran kepada orang Islam yang tidak menyadari kebaikan sang raja.
Selanjutnya, kyai patih melapor kapada raja untuk menyampaikan isi
surat itu.
Mendengar laporan patih, Sang Prabu sangat terkejut. Diam membisu, lama
tak berkata. Dalam hatinya sangat heran kepada putranya dan para Sunan
yang memiliki kemauan seperti itu. Mereka diberi kedudukan akhirnya
malah memberontak dan merusak Majapahit. Sang raja tak habis pikir,
alasan apa yang mendasari perbuatan mereka. Dicarinya penalaran-penalaran
tetapi tidak tercapai lahir batin. Tidak masuk akal akan perbuatan
jelek mereka itu. Pikiran sang raja sangat gelap. Kesedihan itu
dikiaskan bagaikan hati kerbau yang habis dimakan kutu babi hutan.
Sang Prabu juga bertanya kepada sang Patih, apa alasan Adipati Demak dan
para ulama serta bupati tega melawan Majapahit? Patih pun menjawab tak
mengerti. Ki Patih juga heran, pemikiran orang Islam ternyata tidak
baik, diberi kebaikan membalas dengan kejahatan.
Kemudian, Sang Prabu berkata bahwa kejadian itu akibat kesalahannya
sendiri. Yang meremehkan agama yang telah berlaku turun-temurun dan
begitu mudah terpikat kata-kata Putri Campa, sehingga mengizinkan para
ulama menyebarkan agama Islam. Dari kebingungan hatinya, ia menyumpahi
orang-orang Islam. "Kumohonkan kepada Dewa yang Agung, balaslah kesedihan
hamba. Orang-orang Islam kelak terbaliklah agamanya, menjelma menjadi
orang-orang kucir, karena tak tahu kebaikan. Kuberi kebaikan membalas
dengan kejahatan." Sabda sang raja yang berada dalam kesedihan itu disaksikan oleh jagad.
Terbukti dengan adanya suara menggeletar membelah bumi. Terkenal sampai
sekarang, ulama terbaik namanya, tengkuknya dikucir putih.
Tentang kedatangan musuh, yaitu santri yang akan merebut kekuasaan,
Sang Prabu meminta pertimbangan dari Patih. Sang Prabu kecewa, mengapa
hanya untuk menguasai Majapahit harus dengan cara peperangan. Seumpama
diminta dengan cara baik-baik pun tentu akan diberikan karena Sang Raja
telah lanjut usia.
Patih menjawab, lebih baik menyongsong musuh dengan pasukan secukupnya
saja. Jangan sampai merusak bala pasukan. Patih diminta memanggil Adipati
Pengging dan Adipati Pranaraga karena putra yang ada di Majapahit belum
saatnya maju berperang. Setelah memerintahkan demikian, sang prabu
meloloskan diri pergi ke Bali diikuti Sabdo Palon dan Naya Genggong.
Ketika memberi perintah itu, Pasukan Demak telah mengepung istana.
Maka Sang Raja segera pergi dengan terburu-buru.
bersambung......
oleh: eyang menggung
Minggu, 17 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
Tidak ada komentar:
Posting Komentar