Kamis, 14 Agustus 2008

Uborampe SANGKAN PARANING DUMADI


NGRACUT BUSANANING MANUNGSO

Jika kita pernah membaca Ajaran kehidupan yang sangat lekat dalam khasanah jawa yang dinamakan ” SASTRAJENDRA HAYUNINGRAT PANGRUWATING DIYU “. Dimana dalam kaweruh tersebut mengulas MAKNA huruf jawa HA, NA, CA, RA,KA sampai dengan NGA yang dimaknai sebagai “ Ngracut Busananing Manungso “ atau Melepaskan, Mengendalikan sang EGO Pribadi manusia. Tiba- tiba saja saya tertegun dengan sebuah Ayat dalam teks book Kitab Suci AQ akan kisah Musa di Lembah Thuwa ( bukit Thursina ) ketika menerima AJARAN KEBENARAN dari Tuhan. Secara tegas dan gamblang Tuhan telah mengajarkan kepada kita bagaimana manusia-manusia bisa berhubungan dengan sang Khaliq yang telukiskan dengan sebuah ISYARAT bagi manusia untuk “ Menanggalkan Terompah “ yang melekat di DIRI manusia. Dan, kesemuanya itu bisa kita cermati dalam kisahnya Musa di bawah ini.
Saat Musa mendekati nyala api itu semakin dekat, Musa mendengarkan suara dibalik api itu sebagaimana telah dijelaskan dalam sebuah teks book Kitab Suci QS. Thaahaa. 11 – 14 :
“ Maka ketika ia datang ketempat api itu ia dipanggil : “ Hai Musa “. Sesungguhnya Aku ini adalah Tuhanmu, maka tanggalkanlah kedua terompahmu,
sesungguhnya kamu berada di lembah yang suci, Thuwa. Dan Aku telah memilih kamu, maka dengarkanlah apa yang akan diwahyukan. Sesungguhnya Akumini adalah Allah, tiada Tuhan selain Aku, maka mengabdilah ( sembahlah ) Aku, dan dirikanlah shalat untuk berdzikir ( mengingat ) kepada Aku “.

Setelah cahaya itu diperhatikan dengan seksama dengan penuh kesadaran DIRI, ada perintah yang diterima Musa ialah untuk menanggalkan “ sepasang Terompah “ atau alas kakinya. Apa makna yang tersirat dari yang tersurat tentang terompah disini…??. Jika yang dimaksud terompah adalah berupa alas kaki yang sebenarnya dalam bentuk dan wujud fisik ( materi ), maka sebenarnya tak ada alasan lagi untuk dilepaskan. Bukankah pada saat itu telah disebutkan bahwa Musa telah berada di lembah Suci Thuwa..?.
Artinya, Terompah itu mau dilepaskan atau tidak toh tetap saja Musa dan Terompahnya tetap berada di tempat yang Suci..ya..nggak..ya nggak…!!. Dari rangkaian 4 ayat di atas, sebenarnya telah dijelaskan bahwa Terompah itu dilepaskan karena Tuhan telah memilih Musa agar dapat mendengarkan apa-apa yang diwahyukan Tuhan kepada Musa. Terompah macam apa sih kok bisa menghalangi suara Tuhan jika Terompah tersebut tetap dipakai oleh Musa…?. Bukankah Musa telah mendengarkan perintah Tuhan pada panggilan yang pertama kalinya yang pada saat itu Musa masih memakai Terompahnya…?.

Mari kita cermati, pikirkan dan renungkan bersama-sama….!! Kita perhatikan sekali lagi, perintah bahwa Terompah harus dilepaskan agar Musa dapat mendengarkan apa-apa yang diwahyukan oleh Tuhan kepadanya. Apa hubungannya sepasang Terompah dengan Wahyu Tuhan yang akan disampaikan kepada Musa…?.
Berbagai penafsiran dalam memahami ayat ini, banyak para sufi ingin tahu makna dibalik menanggalkan Terompah. Ada yang memahaminya Terompah itu sebagai wujud “ HARTA BENDA, Keluarga “ atau segala bentuk wujud fisik dan materi lainnya. Bukankah keluarga dan domba-dombanya telah ditinggalkan pada saat Musa menghampiri nyala api di lembah Thuwa…?. Dan, Bukankah Musa pada saat itu juga masih memakai baju dan tongkat yang menyertainya…?.

Jika perintah untuk melepaskan sepasang Terompah kita pahami sebatas wujud benda fisik dan meteri, rasanya kok belum pas yah…Lalu apa sebenarnya makna yang bisa dipahami untuk mendekati ketepatan yang tersirat…?.
Bagaimana kalau perintah untuk melepaskan sepasang Terompah tadi kita maknai sebagai bentuk perilaku untuk “ Meluruhkan sang EGO “ yang dalam khasanah Jawa dinamakan “ NGRACUT BUSANA “ atau merupakan wujud “ KEBERADAAN yang FANA ….? “ yakni menanggalkan segala bentuk ke-AKUAN yang ada dalam DIRI Musa baik itu berupa AKAL PIKIRAN dan NALURI. Yah…FANA merupakan suatu keadaan seseorang yang sudah tidak lagi menginginkan “ HASRAT “ keutamaan keindahan, gemerlapnya dunia dan kenikmatan di akhirat.

Seseorang yang sudah berhenti pada stasiun FANA telah berada pada fase kondisi dan keadaan “ Lebur dan Lenyap dalam KEHAMPAAN “ yang ada hanyalah Allah sang Raabul Alamin. Untuk mencapai FANA ini, seseorang haruslah MENGOSONGKAN DIRINYA dari segala macam bentuk ke-AKUAN ( sepasang Terompah ) yang melekat dijasad fisiknya, yaitu MENGOSONGKAN HATI ( batin ) dari berbagai hasrat KEINGINAN LAHIRIAH dan MENGOSONGKAN PIKIRAN daripada khayalan dan lamunan serta impian yang tak terkendali dalam meraih perhiasan duniawi sebagai tujuan pokokrus dilakukan Musa, agar sura-suara Tuhan tadi dapat diterima dengan KEKOSONGAN HATI dan PIKIRAN dari hasrat dan ilusi yang digambarkan dalam bentuk “ KIASAN “ sebagai wujud sepasang Terompah.
Hati yang suci dan pikiran yang bersih, merupakan cerminan bagi Sang ILLAHI. Hanya dalam hati yang suci dan pikiran yang bersihlah QALAM Illahi akan dapt terukir dan terekam dengan sejelas-jelasnya. Dalam keadaan seperti itu segala kehendak-Nya akan dapat terbaca dan didengar jika kita telah melepaskan Terompah kita yang berupa “ Pengosongan HATI dan PIKIRAN “ agar Firman, sabda atau wahyu Tuhan yang disampaikan kepada kita.

Fana dalam penyatuan DIRI dengan Allah itu hanya berhasrat kepada-Nya, tidak perduli lagi dengan gemerlap dan keindahan duniawi dan akhirat. Pada tahapan ini seorang pejalan spiritual ( rohani ) akan melepaskan “ KESADARANNYA “ terhadap keadaan Fana. Ia akan melepaskan KETERIKATANNYA dengan Fana. Yang pada akhirnya terbebaskan dari tingkatan dan maqam Fana menuju pencapaian keadaan “ PENIADAAN atas KETIADAAN “ yang ADA hanyalah DIA Yang Maha Mutlaq, Dial ah Tuhan Al Haq.

Fana dalam kehampaan, dan tiada lagi suatu apapun yang berdiri tegak disamping-Nya, yang ADA hanyalah Wajah Yang Maha Suci dan tiada lagi yang KEKAL ABADI selain Wajah-Nya Yang Maha Mulia dalam balutan Wujud Dzat-NYA.

Wassalam

eyang menggung

Tidak ada komentar: