*Sebuah Catatan tentang Kasus Harry Roesli dan Reformasi Seni
Oleh: Sutrisno Budiharto*
KETIKA tuntutan reformasi berbagai bidang (birokrasi, militer, hukum, dsb) mengalir deras, seniman parodi asal Bandung, Harry Roesli, tiba-tiba mengaku merasa terganggu. Kebebasannya dalam berkreasi seperti terpasung kembali. Itu dipaparkan setelah dirinya terpaksa harus berurusan dengan polisi gara-gara menyanyikan lagu Garuda Pancasila plesetan pada acara "Ruwatan Kemerdekaan" di kediaman mantan Presiden RI keempat, Gus Dur, 17 Agustus 2001 lalu. Menurut Harry, sistem yang berlaku di negeri kita saat ini tidak kondusif. Meski sudah dibuka cakrawala untuk berdemokrasi, tampaknya, masih belum terlihat adanya toleransi kebebasan berekspresi. ''Sepertinya, kita memang agak mundur ke belakang karena ada sikap represif menghadapi disuarakannya aspirasi rakyat. Kita jadinya seperti terpasung kembali...,'' kata Harry (Jawa Pos, 26/08/2001).
Di Solo, keluhan adanya sikap reperesif serupa juga terlontar setelah acara Karnaval Budaya bertema 56 Tahun Indonesia Menangis dalam rangka peringatan HUT Kemerdekaan yang digelar DPKR dan diikuti sejumlah mahasiswa dan pekerja seni Solo, 17 Agustus 2001 lalu, dibubarkan polisi. Bahkan, sebagian peserta ditangkapi polisi. Alasannya, acara itu digelar tanpa izin. Pertanyaan yang muncul kemudian adalah; benarkah pada orde reformasi ini kebebasan berekspresi terpasung kembali seperti dikeluhkan Harry Roesli?
Dalam sejarah seni Indonesia, cerita tentang sikap represif kekuasaan terhadap ruang kebebasan berkesenian merupakan dongeng usang. Pada zaman Orde Lama (ORLA) kepemimpinan Soekarno (Presiden RI pertama) para seniman kelompok Manifest Kebudayaan (Manikebu) pernah dinyatakan terlarang. Sebaliknya, ketika Orde Baru (ORBA) berkuasa giliran seniman LEKRA (Pramoedya Anantatoer dsb) yang ditindas. Tidak hanya itu, pada zaman kepemimpinan Soeharto lalu ruang kebebasan berkesenian para seniman baru juga 'digencet' sikap represif yang diwarnai dengan berbagai pelarangan terhadap sejumlah pentas seni. Semua cerita 'penindasan seni' ini setidaknya tak lepas dari kepentingan politik atau kekuasaan. Ironisnya, antara seniman Manikebu dengan para seniman LEKRA, kalau tidak salah tangkap, terkesan masih dipenggal oleh rasa kurang bersahabat. Sebab, perbedaan pendapat di antara mereka terlihat tidak mencairkan keterpisahan yang pernah terjadi. Tengok saja, bagaimana aksi protes para maha bintang seni Manikebu ketika Pramoedya Ananta Toer (LEKRA) mendadak diundang ke Philipina untuk menerima penghargaan dari Yayasan Magsaysay pada tahun 1995. Cerita bernuansa 'kurang bersahabat' semacam itu, jika terus digembar-gemborkan dengan menafikkan esensi kemerdekaan, setidaknya hanya akan meninggalkan warisan penuh prasangka kurang sehat bagi para seniman muda. Padahal, padahal seniman generasi baru saat itu sedang getol-getolnya memperjuangkan kemerdekaan berekspresi dari sikap repersif penguasa Soeharto. Tidaklah aneh, dengan meminjam sikap dasar Postmo, di antara generasi muda ada yang memilih menegaskan sikap: mari tumbuh bersama sambil merayakan perbedaan dan pluralitas!
Setelah ORBA tumbang dan digantikan oleh orde yang bersemangat reformasi cerita kuno tentang 'penindasan seni' rupanya tidak juga dimuseumkan. Ketika Abdurrahman Wahid (Gus Dur) menjabat presiden, sikap pemerintah memang terbilang sangat terbuka terhadap para seniman. Buku-buku sastra yang semula dinyatakan terlarang oleh pemerintahan ORBA, bisa bebas beredar di pasaran. Tapi anehnya, malah ada sekelompok massa berani melakukan sweeping dan pembakaran buku-buku yang dinilai berbau kekiri-kirian, termasuk karya sastra. Kalau pada masa orde reformasi (setelah Gus Dur lengser) ini tiba-tiba seorang Harry Roesli mengaku masih terganggu kebebasannya, lantas di manakah letak hasil pelaksanaan reformasi terhadap ruang seni-budaya kita? Apakah bidang seni-budaya kita memang hanya 'jalan di tempat' dan tetap dihantui oleh kepentingan politik sempit? Dan, kenapa polisi malah mengusik ruang kebebasan berkesenian, padahal kasus-kasus KKN dan pelanggarang HAM pada zaman ORBA yang lebih urgen justru dikeluhkan terkesan 'tak terurus'? Saya sependapat dengan Kiswondo bahwa dalam suasana gegap gempita reformasi total ini, maka kehidupan bersastra, berbudaya serta bermasyarakat, dituntut untuk lebih bisa rasional, humanis, dan demokratis. Penghormatan terhadap perbedaan merupakan imperatif demokrasi yang harus segera dikerjakan. Masa Sandya-kalaning (masa kegelapan dan keruntuhan) Indonesia, di mana perbedaan diartikan sebagai kutukan, pemenjaraan, dan pembunuhan harus segera dihentikan.(Kiswondo: Bangkitnya Counter-Hegemony dalam Masyarakat dan Sastra Indonesia; 1999).
Namun, jika dalam masa reformasi ini polisi masih terlalu represif terhadap ruang berkesenian (seperti pembubaran dan penangkapan peserta Karnaval Budaya 56 Tahun Indonesia Menangis di Solo hanya dengan alasan tanpa disertai izin), sementara tuntutan penuntasan kasus-kasus pelanggarang HAM dan KKN pada zaman ORBA dikeluhkan hanya tetap 'membeku' saja sejak dulu, tentu ini akan menimbulkan pertanyaan-pertanyaan baru yang mengarah pada keseriusan pemerintahan Megawati-Hamzah Haz dalam melaksanakan reformasi. Padahal, karya seni bukanlah barisan laskar bersenjata yang bisa membubarkan negara atau membuat keonaran yang merusakkan karta benda. Karya seni bukan bom yang bisa meledakkan Bursa Efek Jakarta (BEJ) atau menghancurkan tempat-tempat ibadah dan melukai banyak orang. Karya seni hanyalah sebuah ekspresi kesaksian suara hati berbentuk kata-kata (sastra), teater, dsb dari sebuah realitas (jika itu karya seni yang ingin menajamkan realitas dan bukan menyembunyikan atau lari dari realitas). Nor Pud Binarto T (Seni Dalam Politik Yang Mencekam; Horison/03/XXVIII/56) pernah mengutip pandangan kalangan pemikir mazhab Frangfurt, seperti Hobermas, Adorno maupun Horkheimer; bahwa dalam 'politik yang mencekam' (kekuasaan dengan pemilik modal melakukan relasi mutualistik hingga tak memberikan ruang kepada publik untuk menuntut hak) masyarakat harus menemukan cara pembangkangan, baik melalui kritik formal maupun informal. Misalnya dalam bentuk pembangkangan publik seperti demonstrasi (unjuk rasa) dan tuntutan pembubaran lembaga kekuasaan. Jalan itu, secara teoritis dapat diterima. Bahkan, melalui tinjauan per-undang-undangan negara, bentuk pembangkangan publik selalu diakui oleh negara. Sebab, dengan cara tersebut negara dapat dikoreksi. Pada masa ORBA berkuasa, ketika tak memberi peluang jurnalisme untuk mengembangkan perannya secara maksimal, fakta yang hadir berupa berita di media massa telah mengalami penyucian, sterilisasi, hingga seringkali fakta yang disampaikan adalah fakta fiktif. Ketika berita hadir sebagai fiksi inilah, sastrawan Indonesia ada yang berupaya 'membocorkan realitas' melalui rekonstruksi peristiwa dalam cerita. Gejala ini, seperti dipaparkan Agus Noor, bisa dilihat dalam cerpen-cerpen Seno Gumira Ajidarma dalam Saksi Mata, cerpen Salim Terbang karya Taufik Ikram Jamil, atau Meteorit-nya Sony Karsono. Setidaknya hal ini merupakan upaya untuk menajamkan realitas guna melakukan koreksi atau protes terhadap pemerintah.
Sedangkan dalam kasus Harry Roesli, lagu Garuda Pancasila plesetan yang dinyanyikan dalam acara "Ruwatan Kemerdekaan" lalu setidaknya juga merupakan upaya Harry Roesli untuk menyampaikan kritik positif kepada pemerintah. Yakni dengan mengungkapkan realitas melalui 'jalur' parodi. Anehnya, ketika tuntutan reformasi berbagai bidang mengalir, ternyata masih ada polisi berpendapat lain hingga menyampaikan pasal-pasal hukum yang bisa menjerat Harry Roesli. Sutardji Calzoum Bachri mengatakan parodi seperti yang dilakukan Harry Roesli itu sebenarnya sudah sering terjadi. Di dunia puisipun kejadian itu juga ada. Sutardji mencontohkan karya Chairil Anwar, Gunawan serta Sapardi juga pernah diparodikan. Bahkan lukisan ternama Monalisa karya Leonardo Da Vinci juga diparodikan dengan menambahi kumis. Mereka semua tidak perlu meminta izin kepada ahli warisnya. Orang sah-sah saja memparodikan suatu karya seni karena di mata Sutardji parodi adalah sebuah kesenian. Parodi sendiri adalah penafsiran terhadap karya seni sesuai dengan kemampuan kita. Seperti penafsiran Aku Ini Binatang Jalang, karya Chairil Anwar, mungkin jalang itu lain artinya bagi orang lain. Jalang ini mungkin artinya energik.
Dalam kasus Harry Roesli Sutardji melihat sebagai sebuah pemaknaan. Diibaratkan negara ini adalah ibu pertiwi dan masyarakat adalah anak-anaknya. Dan sesuatu yang wajar jika antara seorang ibu dan anaknya itu saling bercanda. Selain itu dalam kasus itu, yang diungkapkan Harry adalah suatu pertanyaan-pertanyaan kritis. "Pribadi bangsaku tidak maju-maju, kemudian kita tanya pada diri kita, apa yang dimaksud Harry Roesli itu ada tidak yang ada di pribadi kita yang maju atau bagian yang mundur, kalau kita berantem di jalan itu maju atau mundur," ujar Sutardji.
Lantas, apakah kasus parodi ini benar-benar akan menyeret Harry Roesli ke pengadilan hingga bisa menjebloskannya ke dalam penjara? Sejauh ini belum diketahui pasti tindak lanjut sikap polisi. Yang jelas, sikap polisi dalam menghadapi kasus lagu Garuda Pancasila plesetan (termasuk juga kasus pembubaran dan penangkapan peserta Karnaval Budaya 56 Tahun Indonesia Menangis di Solo), membuat teringat salah satu sajak plesetan karya Gojek JS, penyair Solo yang juga wartawan. Sajak plesetan itu berisi seperti ini:
//Anemahi zaman edan,/ wong edan padha dum-duman/ kang eling diwaspadai//.
//Wus genah kersaning Allah/ sak edan-edane wong kaliren, luwih edan wong sing kewaregen//
Plesetan berbahasa Jawa dari Serat Kalatidha karya pujangga Ronggowarsito yang pernah dibacakan di Taman Budaya Surakarta 8 Mei 1995 silam itu bila diterjemahkan ke dalam bahasa Indonesia kira-kira berarti begini: Hidup di zaman gila ini, orang edan membagi-bagi kekayaan dunia seenaknya dengan menghalalakan segala cara. Yang tidak lupa diri justru diwaspadai. Namun sudah kehendak Allah, segila-gilanya orang yang kelaparan, lebih gila lagi orang yang kekenyangan. Teks aslinya diambil dari isi pupuh ketujuh tembang sinom buku Kalatidha yang berbunyi begini:
//Amenangi jaman edan,/ewuh aya ing pambudi,/melu edan nora tahan,/yen tan melu anglakoni,/boya keduman melik,/kaliren wekasanipun.// Dilalah kersaning Allah,/begja-begjane kang lali,/luwih begja kang eling lan waspada.//
Sedang terjemahan bebasnya adalah: //Menghadapi zaman gila,/ suasana memang menjadi sulit,/ ikut-ikutan 'gila' sering tidak tahan,/ tetapi kalau tak ikut,/ lenyaplah segala kemungkinan,/ dan yang terjadi justru kesengsaraan.// Meskipun demikian, sudah takdir Tuhan,/ betapapun bahagianya mereka yang terlupa,/ lebih berbahagia mereka yang sadar dan waspada.//
Bila meminjam perspektif yang dipakai Gojek JS dalam plesetan Kalatidha itu, maka ketika Harry Roesli menyanyikan lagu Garuda Pancasila plesetan bisa saya katakan sebagai orang yang masih waspada atau tidak ikut ngedan di tengah zaman yang sudah edan. Namun, sebagai orang yang tidak ikut ngedan di zaman yang sudah edan, belakangan Harry Roesli malah diwaspadai atau dicurigai. Pertanyaannya yang muncul kemudian adalah; apakah dalam orde reformasi ini orang yang tidak ikut ngedan (termasuk orang-orang yang selalu mempertanyakan tindak lanjut terhadap proses hukum pelanggaran HAM dan kasus KKN yang terjadi zaman ORBA lalu) justru diwaspadai atau dicurigai? Mungkin seperti inilah salah satu dilema hidup dalam tatanan budaya moderen yang selalu bergeser akibat benturan-benturan kepentingan duniawi. Mungkin karena terlalu seringnya bergeser itulah nilai-nilai moral jadi terkoyak; sulit dibaca mana yang baik dan buruk, mana yang benar dan salah. Bahkan mungkin orang sering terbolak-balik dalam menilainya. Kendati demikian, Serat Kalatidha Ronggowarsito agaknya tetap pantas diyakini masih relevan hingga zaman ini bahwa ...begja-begjane kang lali, luwih begja kang eling lan waspada. Demikian juga Serat Kalatidha pelesetan versi Gojek JS bahwa sak edan-edane wong kaliren, luwih edan wong sing kewaregen.
Pendek kata, berbahagialah orang semacam Harry Roesli yang dipaspadai. Sebab, bila selalu diwaspadai setidaknya akan membuat Harry Roesli selalu ingat sehingga dia tidak akan ikut ngedan di zaman edan ini. Dengan kata lain, se-edan-edan-nya di zaman edan ini, saya tetap yakin ada yang maha tahu: siapa sesungguhnya yang tidak edan dan tidak perlu harus diwaspadai. Bukankah begitu?
*Pernah dimuat di Radar Solo-Jawa Pos, 4 September 2001.
salam sejahtera
eyang menggung
Senin, 18 Agustus 2008
Langganan:
Posting Komentar (Atom)
1 komentar:
Wah ini tulisanku... ternata ada yg minat juga ya... Makasih...
(SUTRISNO BUDIHARTO)
Posting Komentar